Varsity Memory: Here for Goodness, Here for Social Causes
Varsity Memory: Here for Goodness, Here for Social Causes

Varsity Memory: Here for Goodness, Here for Social Causes

Manusia hidup tidak sendiri namun berdampingan dengan manusia lainnya. Dari sebagian orang, mungkin mereka dilahirkan dan hidup dalam kondisi yang mapan, namun di sisi lain sebagian lagi hidup dalam keprihatinan. Toh dua-duanya merupakan cobaan dari Tuhan tentang bagaimana setiap orang menyikapi kondisinya masing-masing. Bersyukur itulah kuncinya. Bertolak pada hal itu, tidak heran jika berbagai masalah sosial yang bermula dari kemiskinan kerap sekali terjadi. Masalah tersebut mulai dari perkampungan kumuh, fenomena anak jalanan, sampai pada masalah lingkungan.

Mahasiswa dituntut untuk mampu menerapkan tri dharma perguruan tinggi yang terdiri dari tiga aspek yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Semasa menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, saya senang karena berkesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial. Kegiatan sosial yang saya ikuti lebih banyak seputar pada pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu. Berikut ini ceritanya:

Semenjak semester pertama kuliah, saya aktif dalam berbagai kegiatan sosial terutama yang berfokus pada pendidikan anak-anak kurang mampu. Salah satu pengalaman tersebut adalah ketika bergabung dengan kepanitiaan Kegiatan Pendidikan Anak Jalanan Indonesia (Program Pendidikan Anjali) yang merupakan kegiatan sosial Badan Eksekutif Mahasiswa FEUI. Tujuan dari program ini adalah memberikan pendidikan informal, latihan kepemimpinan dan bentuk kegiatan lain yang mampu membangun sisi intelektual dan moral bagi anak-anak yang kurang beruntung. Target program ini adalah anak-anak kurang mampu yang tinggal di Kampung Lio, Depok Jawa Barat. Kampung Lio adalah salah satu daerah minus yang letaknya ada di Depok. Letaknya tepat di belakang Balai Kota Depok yang megah. Sebagai daerah minus, penduduk di kampung ini hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan ini pula yang mendorong anak-anak di sana (walaupun tidak semuanya) untuk putus sekolah dan beralih bekerja untuk membantu orang tua mereka. Coba anda bayangkan pekerjaan apa yang bisa didapatkan oleh anak-anak kecil yang secara realita masih belum mempunyai keahlian apapun. Jawabannya, akhirnya mereka bekerja kasar, di jalanan, di pasar atau tempat yang tidak sesuai lainnya.

Hal ini pula yang mendorong mereka sangat rawan akan pengaruh-pengaruh negatif mengingat mereka bergaul dengan banyak orang, yang usianya juga lebih dewasa. “Not the right people on the right place” lah begitu mungkin singkatnya.

Selama bergabung dengan Pendidikan Anjali, saya ikut dalam beberapa kegiatan. Saya secara struktur kepanitiaan menjadi fundraiser untuk kegiatan tersebut, namun di setiap kegiatan, setiap panitia didorong untuk ikut serta dan berkontribusi di dalamnya tanpa memandang apa job desc awalnya. Salah satu kegiatan utama program ini adalah “mengajar rutin” yang tidak salah diselenggarakan setiap rabu sore. Saya pernah ikut serta dalam mengajar anak-anak ini. Ketika pertama kali berkunjung ke Kampung Lio, memang terasa sekali bagaimana aura “keterbatasan ekonomi” di sana. Jauh berbeda dengan hingar bingar jalan margonda yang letaknya tak jauh dari kampung tersebut. Mengajar anak-anak ini memberikan tantangan tersendiri. Layaknya anak-anak yang suka bercanda dan nakal, mereka juga seperti itu. Namun lingkungan pergaulan mereka yang kurang sesuai membuat mereka sering berlaku dan berkata sarkastik melebihi batas normal anak seusianya. Namun, toh jiwa mereka tetaplah anak-anak yang suka bermain dan belajar. Setiap kali saya dan teman-teman lainnya datang (saya beberapa kali datang ke Kampung Lio atas inisiatis sendiri bersama beberapa teman), mereka pasti menyambutnya dengan suka cita. Pertanyaan pertama yang muncul adalah “kak, mana buku gambarnya? Kak mana buku bacaannya?” Senang rasanya melihat anak-anak tersebut semangat dan tersenyum bahagia.

Selain mengajar rutin, ada juga program motivation training untuk mereka. Intinya memberikan dorongan agar mereka terus bersemangat mengejar cita-cita walaupun mereka memiliki keterbatasan terutama ekonomi. Ada juga program outbound yang waktu itu diselenggarakan di Bumi Perkemahan Ragunan serta jalan-jalan bersama ke Monumen Nasional dan Planetarium Taman Ismail Marzuki.

Kegiatan sosial lain yang pernah saya ikuti adalah Student in Action (SIA) tepatnya pada tahun 2007 dan 2008. Dari dua kegiatan di tahun berbeda tersebut, saya paling ingat pada kegiatan tahun 2007 karena pembukaannya bertepatan dengan hari ulang tahun saya, tanggal 8 Januari. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI dan didukung oleh British Council ini bentuknya beranekaragam mulai dari membangun perpustakaan mini di daerah minus kawasan Cipete Jakarta Selatan sampai kegiatan sosial mengunjungi rumah sakit anak di Jakarta Pusat. Selain itu saya juga pernah menjadi kakak asuh Program Kakak Adik Asuh FEUI (Prokadishu) selama tiga tahun serta menjadi pengajar di Sekolah Non Formal FEUI.

Sebagai bagian dari lingkungan sosial baru sedikit sekali kontribusi yang saya berikan. Walaupun mungkin tidak signifikan, namun saya melakukannya dengan ikhlas. Tentu saya senang jika melihat orang lain tersenyum senang :) impian besar saya adalah suatu saat saya bisa membangun suatu perpustakaan besar dengan banyak koleksi bahan bacaan dan dilengkapi akses internet di daerah dimana saya lahir, nun jauh di sana di Jawa Timur. Saya hanya sebagian amat kecil dari mereka yang bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Di sana, karena keteerbatasan ekonomi menuntut anak-anak usia belasan tahun untuk putus sekolah dan bekerja. Kebanyakan di antara mereka bekerja sebagai pabrik dengan upah hanya sebatas UMR atau bahkan di bawahnya. Bagi mereka yang berasal dari keluarga yang lebih beruntung, yang mana orang tua mereka mempunyai sawah atau lahan pertanian, mereka juga cenderung untuk sekolah sebatas SMP atau SMA yang lantas akan membantu orang tua mereka mengelola lahan pertanian. Keterbatasan ekonomi dan faktor kultural telah memaksa mereka untuk hidup dalam lingkaran kemiskinan, atau yang sedikit lebih beruntung adalah lingkaran kesederhanaan.

Saya percaya bahwa kunci utama untuk menyelesaikan masalah tersebut sekaligus mampu membangun kesadaran dan semangat untuk terus maju adalah informasi. Informasi yang akan membuka mata mereka akan betapa luasnya dunia, tentang betapa banyaknya hal menarik di sana, informasi yang menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan sebagai kendaraan yang akan membawa kesuksesan bagi mereka. Singkatnya informasi yang akan membuat mereka menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika mereka mau berusaha. Usaha ke arah ini sudah lama saya rintis, seringkali ketika ada event selama kampus dimana ada buku, atau sumber informasi gratis lainnya, maka saya akan manfaatkan kesempatan tersebut untuk mengumpulkannya, mengirimkannya dan membagi-bagikan kepada anak-anak di sana. Walau masih jauh api dari panggang, namun saya optimis suatu saat saya bisa mewujudkan impian saya. Semangat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *