Di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan terdapat satu rumah yang sangat unik dan ternyata menjadi museum. Namanya adalah Museum di Tengah Kebun. Museum ini pada dasarnya adalah rumah tinggal yang dimiliki oleh Sjahrial Djalil, seorang pengusaha asal Pekalongan. Kedatangan saya dan rombongan Bentara Budaya Jakarta kali ini memang sudah lama saya tunggu-tunggu. Tidak seperti museum-museum lainnya, Museum di Tengah Kebun ini memang agak unik, dibuka untuk umum tapi untuk pengunjung perorangan, namun kelompok. Kunjungan kelompok juga ada minimal jumlah berkunjung. Izin mengunjungi museum ini perlu diberitahukan kepada pengurus museum. Lantas informasi konfirmasi akan diberikan oleh pengurus museum. Mengunjungi museum ini gratis, tidak dipungut biaya sama sekali.
Gerbang masuk museum ini berupa gerbang kayu dan juga ada beberapa topeng mini yang ditempel di situ. Di sampingnya, ada tulisan Museum di Tengah Kebun dengan Dewa Ganecha di sampingnya. Ketika memasuki areal museum, saya sendiri merasa seperti berada di tempat lain di luar kota besar seperti Jakarta. Jajaran pohon di kanan kiri akses museum dan rumput hijau membuat suasana menjadi tenang dan damai, lepas dari hiruk pikuk. Di depan rumah, ada patung Dwarapala atau sering disebut reco penthung. Patung ini dipercaya sebagai penjaga rumah atau bangunan. Di situ kami disambut oleh pemandu museum. Kami lantas dijelaskan tentang sejarah museum tersebut serta bagaimana aturan ketika berada dalam museum. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah menjaga ketertiban, keamanan, dan kebersihan museum. Rumah ini masih dihuni oleh si pemilik dan kebetulan beliau sedang sakit. Dulu ketika kondisinya masih sehat, maka yang bersangkutan biasanya menyapa para pengunjung. Museum ini sendiri dikelola oleh Yayasan Museum di Tengah Kebun.

Ruangan museum ini dibagi menjadi beberapa bagian, ada bagian rumah utama dan ada bagian kebun. Total luas museum ini sendiri adlaah 3.500 meter persegi, dengan bangunan utama seluas 700 meter persegi. Museum ini memiliki sekitar 2.841 koleksi beranekarupa mulai dari patung, kain, furnitur, perhiasan, buku, dan lainnya yang dikumpulkan oleh Pak Sjahrial selama sekitar 42 tahun. Sebagian besar koleksi diperoleh dari Balai Lelang Christie untuk memastikan bahwa semua koleksi adalah legal dan sesuai aturan. Kecintaan akan artefak Indonesia membuat Pak Sjahrial berupaya untuk “membawa pulang” artefak Indonesia yang ada di luar negeri. Koleksi ini berasal dari sekitar 63 negara dan lebih dari 20 provinsi di Indonesia.
Setiap koleksi memiliki sejarah dan cerita sendiri. Di ruang tamu, kami “disambut” dengan patung Buddha Sakyamuni, yang saya ingat, berasal dari Thailand. Patung ini berwarna emas dan menambah suasana hening di rumah tersebut. Di ruang tamu, ada beberapa benda seperti koleksi berbagai tombak dari Jawa, beberapa patung Buddha, serta hiasan Singa Ambararaja dari Singaraja Bali. Di situ ada lemari yang berisi koleksi buku-buku menarik. Rata-rata koleksi buku adalah terkait dengan cerita dari koleksi yang ada di museum tersebut. Di samping ruang tamu, terdapat ruang makan yang dinamakan sebagai ruang Dewi Sri. Di situ ada koleksi wayang golek dari Tataran Sunda. Yang utama adalah patung Dewi Sri, yang menurut orang Jawa zaman dulu merupakan dewi padi dan kesuburan. Bagi masyarakat Jawa, keberadaan Dewi Sri sangat dihormati. Dewi ini yang menjadi ‘sahabat’ bagi para petani. Di berbagai daerah, upacara tradisional untuk menghormati Dewi Sri dilakukan ketika masa tanam padi atau masa panen padi.

Lanjut ke ruang lainnya adalah ruang kerja. Di sana ada seset meja kursi kerja dan juga koleksi berbagai buku dari berbagai negara. Dulu, ketika Bapak Sjahrial masih sehat dan aktif bekerja, ruang ini merupakan ruang kerja beliau. Di belakang ruang ini ada kamar tidur utama dan juga kamar mandi utama. Di bagian luar dari ruang utama ada beberapa ruang yang menyatu dengan ruang utama, di antaranya adalah ruang kamar tidur tamu. Semua perabotan yang ada juga merupakan perabotan antik. Beberapa lukisan klasik juga ada di sana.

Karena usia koleksi yang mencapai puluhan bahkan ratusan tahun, museum ini juga tidak lepas dari berbagai cerita mistik. Konon beberapa benda koleksi memang memiliki “empunya” dan seringkali mereka menampakkan diri. Beberapa tamu yang menginappun sering mendapatkan “sambutan” dari mereka. Dulu tata letak koleksi sering diubah secara berkala dan dirawat/ dibersihkan dengan cermat. Namun saat ini, hal tersebut jarang dilakukan. Koleksi museum ini memang ditujukan untuk menunjang pembelajaran bagi para pendatang untuk tahu bagaimana kekayaan warisan budaya dan sejarah, khususnya Indonesia. Museum ini pernah mendapatkan penghargaan sebagai museum terbaik dari Pemerintah Jakarta Selatan. Konon pengelolaannya memang bersumber dari dana pribadi sang inisiator. Saya sendiri pasti bertanya, berapa nilai dari koleksi ini secara keseluruhan jika sekian ribu koleksi itu didapatkan mayoritas dari balai lelang internasional.

Bagian taman dari museum ini tidak kalah menarik: sangat hijau, bersih dan menenangkan. Di sana ada sekitar 2 bale bengong untuk bersantai. Di balai bengong tersebut juga terdapat beberapa koleksi patung dan pajangan. Tredapat satu kolam renang ukuran sedang yang sangat bersih. Suasana taman sangat indah karena aneka tanaman yang ada di sekelilingnya. Bahkan di pinggir-pinggirannya terdapat berbagai tanaman pohon seperti kelapa, aren dan lainnya. Ketika berada di sana, kamu akan merasa seperti tidak di Jakarta karena sejauh mata memandang tidak terlihat gedung-gedung bertingkat. Salah satu ikon dari taman ini adalah patung Dewa Ganecha raksasa yang ada di tengah kebun. Dewa Ganecha ini juga yang menjadi logo dari museum ini. Kunjungan kami berlangsung selama 2 jam dan banyak sekali informasi yang kami dapatkan. Museum ini memang sangat direkomendasikan untuk dikunjungi. Terima kasih untuk Museum di Tengah Kebun dan tour guide kami 🙂
Jujur, rumah kebun seperti ini yang menjadi rumah idaman saya ehehe. Semoga suatu saat bisa terwujud. Amin.
