Terbesit Cinta dan Rindu di Lindu
Terbesit Cinta dan Rindu di Lindu

Terbesit Cinta dan Rindu di Lindu

Pertama dengar kata Lore Lindu mungkin saat SMP. Berarti itu sudah sekian belas atau puluh tahun yang lalu. Dan surprisingly, saya berkesempatan ke Taman Nasional Lore Lindu yang ada di Sulawesi Tengah. Taman Nasional ini membentang dari Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso. Dan kunjungan saya ke sana adalah menjadi bagian dari keluarga besar Festival Lestari tahun 2023. Mengutip wikipedia, Taman Nasional ini merupakan daerah tangkapan air bagi 3 sungai besar di Sulawesi Tengah, yakni sungai Lariang, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Taman nasional ini terbagi atas tiga kawasan, yakni Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Hutan Wisata Danau Lindu, dan Suaka Margasatwa Sopu Gumbasa. Lebih lanjut, Taman Nasional ini memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta panorama alam yang menarik karena terletak di garis Wallace yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia.

Perjalanan kali ini membawa saya ke Kecamatan Lindu, yang ada di Kabupaten Sigi. Jaraknya dari Kota Palu sekitar 4 jam. Perjalanan dari pintu masuk Taman Nasional di Sadaunta terasa spesial, karena panorama hutan di kanan kirinya. Jalanan yang konturnya tanah, bebatuan, dan tanah liat membuat perjalanan mungkin terasa ekstrim bagi sebagian orang. Tapi percayalah bahwa segarnya udara, hijaunya alam sekitar membuat perjalanan ke Lindu menjadi sangat berkesan. Kecamatan Lindu terdiri dari 5 desa yakni Puroo, Langko, Tomado, Anca, dan Olu. Di kecamatan ini, terdapat Danau Lindu yang merupakan danau terbesar kedua di Sulawesi Tengah. Tidak pernah terlintas bahwa saya akan ke Lindu sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 1 bulan. Bolak-balik Jakarta – Palu – Lindu, untuk mempersiapkan banyak hal. Pengalaman yang sungguh wow. Ada banyak sekali hal yang saya akan terus syukuri karena kunjungan kami ke Lindu.

Apresiasi Masyarakat akan Alam dan Isinya

Masyarakat di sana, ternyata begitu antusias dengan gelaran Telusur Lindu (Telusur Wisata & Budaya Lestari serta Telusur Rasa Lestari). Dan terlihat sekali bahwa mereka berupaya memberikan yang terbaik untuk menyambut tamu-tamu peserta. Mulai dari penyambutan adat, makan adat, dan rangkaian acara lainnya. Malam itu, di tengah hening suasana tepi Danau Lindu yang mana dana ini dikelilingi pegunungan dan gunung, terdengar merdu suara pemuda-pemudi Desa Tomado. Mereka menyajikan pertunjunkan musik karembangan dan menyanyikan beberapa lagu. Lagu-lagu tersebut adalah lagu setempat dan bercerita tentang Danau Lindu, Pulau Bolaa, dan alam sekitarnya.

Dalam satu obrolan dengan penduduk setempat saya bertanya:

“Apa arti hutan dan danau dan alam untuk mereka?”

“Mereka adalah bagian dari kehidupan kami….” begitu jawabnya.

Terlihat sekali rasa kecintaan dan kepedulian masyarakat Lindu akan alam dan isinya. Bahkan kearifan lokal berupa aturan adat memang melarang orang merusak alam misalnya menebang pohon, merusak hutan untuk pembukaan kebun, dan lainnya. Kecintaan itu yang kemudian dituangkan dalam bentuk lagu-lagu yang dinyanyikan merdu diiringi petikan gitar khas Lindu.

Ada banyak aturan adat yang berusaha menjaga keseimbangan alam dan manusia. Di sana, tidak diperbolehkan membuka hutan sembarangan. Di sana ketika ada orang meninggal, maka selama beberapa hari tidak diperbolehkan mencari ikan di Danau Lindu di sisi dimana orang meninggal tersebut berada. Ini menjadi penting menurut saya agar tidak terjadi over fishing di daerah tersebut.

Harumnya Kopi Lindu

Sebagai dataran tinggi, tentu suhu udara di sana akan makin dingin ketika malam tiba. Penerangan yang terbatas dan bahkan tidak ada sama sekali ketika listrik padam serta susahnya sinyal dan akses internet membuat momen di sana menjadi pas untuk ngobrol sambil ditemani kopi. Tanpa perlu khawatir karena terganggu oleh adanya internet yang justru kadang menjauhkan kita akan orang-orang yang secara fisik ada dekat dengan kita. Salah satu hasil kebun di Lindu adalah berupa kopi. Walau di sana kopi tidak masif diproduksi namun hasilnya cukup untuk setidaknya memenuhi kebutuhan kopi harian warga sana. Yang spesial di sana adalah ada kopi yang kemudian dimakan oleh burung endemik Lindu. Sepertinya yang dimakan adalah kulit bijinya. Biji kopi yang sudah tidak ada kulitnya tersebut lalu dimuntahkan dari mulut burung tersebut dan kemudian dipungut untuk diproses lebih lanjut. Biji kopi yang dimakan oleh burung tersebut dipercaya adalah biji kopi pilihan. Kopi yang diolah ini kemudian disebut dengan kopi ratu. Saya mencoba kopi ratu dan memang rasa juga baunya enak dan kuat. Ah, apalagi yang kita butuh ketika di depan mata terpampang Danau Lindu yang indah berbingkai pegunungan di belakangnya, ditemani kopi hangat dan obrolan dengan orang setempat.

Selain kopi, Lindu juga menghasilkan beberapa hasil kebun lainnya seperti vanili dan umbi-umbian. Hasil kebun ini kemudian ada yang diolah menjadi produk UMKM dan menjadi oleh-oleh bagi warga yang berkunjung ke sana.

Saya senang sekali bisa ke Lindu dan berharap suatu saat bisa ke sana lagi.

Titip rindu untuk Lindu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *