“Dadi wong Jowo iku kudhu Njawani”
Itu mungkin salah satu pitutur (petuah) yang pernah saya dengar. Entahlah, saya lupa kapan dan dari siapa saya mendengarnya. Namun, makin ke sini saya makin merasa bahwa pitutur tersebut sangatlah relevan dengan kehidupan kita saat ini. Saat ini, banyak orang yang tidak menghayati dan menghormati budaya bangsanya sendiri. Saya pribadi sebagai manusia seolah kehilangan jati diri saya sebagai orang Jawa. Rasanya banyak sekali hal-hal lulur warisan nenek moyang yang saya lupakan dan tidak terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan tulisan singkat saya ini tidak bermaksud untuk rasial ataupun menunjukkan bahwa salah satu budaya lebih baik dari budaya lainnya, Bagi saya, semua budaya memliki keunikan masing-masing dan semuanya dibuat untuk kebaikan kehidupan.
Kegalauan saya sebagai anak yang masih muda akhirnya berakhir pada saat dimana saya ingin kembali menghargai kebudayaan saya sendiri sebagai orang Jawa. Banyak hal yang belum saya tahu dan dalami sebagai orang Jawa. Sebut saya dulu saya kecil yang kerap bermain gamelan, sering menonton pertunjukan jaranan/ jaran kepang, ludruk atau wayang namun sekarang saya tidak terlalu peduli. Saya kecil yang dulu di sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama belajar Bahasa Jawa halus, kromo alus dan kromo inggil.
Banyak sekali sebenarnya petuah dan filosofi Jawa yang menurut saya sangat mengagumkan. Sebut saja misalnya tembang macapat. Tembang yang berkembang saat dakwah Islam oleh Sunan Kalijaga ini mengandung isi tentang pelajaran hidup yang sangat mendalam. Tembang Macapat terdiri dari tembang mijil, maskumambang, kinanti, sinom, dhandhanggula, asmarandana, gambuh, durma dan pangkur. Tembang ini menggambarkan alur kehidupan manusia dari lahir, muda, dewasa, tua sampai meninggal dunia. Saya jujur sangat kagum dengan tembang ini dan setiap malam ketika hening saya akan mendengarkan tembang ini sebagai media untuk koreksi diri bahwa saya dalam hidup harus selalu mawas diri dan selalu berbuat kebaikan. Hidup hanya sekali dan dengan kebaikan itu kita tidak akan pernah menyesali kehidupan kita.
Saya akhirnya menemukan turning point bahwa sebagai Orang Jawa, saya harus njawani, dengan jalan memahami dan menjalankan filosofi Jawa yang adi luhung.