Menghitung Bungkus Emping Belinjo
Menghitung Bungkus Emping Belinjo

Menghitung Bungkus Emping Belinjo

Kulihat dalam beberapa waktu ini, perempatan jalan yang sering aku lalui semakin ramai saja. Tidak hanya karena volume kendaraan di jam-jam kerja namun juga oleh para pedagang yang berjualan di pinggir jalan itu. Memang, aku sudah lupa kapan terakhir kalinya kulihat polisi Pamong Praja melakukan penertiban. Mungkin mereka sedang sedikit melunak dan memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk mengais rezeki di tempat itu. Bagiku, setiap orang berhak atas kehidupan yang lebih baik, lewat rezeki yang halal, salah satunya dengan berjualan.

Nasib baik sedang menaungiku. Promosi kerja yang aku dapatkan dari kantor membuat hidupku makin nyaman. Aku mendapat fasilitas mobil pribadi lengkap dengan supirnya. Aku tidak perlu harus capek-capek gonta-ganti kendaraan umum di pagi hari. Supir sudah siap sedia dari pagi hari tepat jam setengah enam. Aku bisa kemana saja dengan mobil itu bahkan untuk urusan pribadiku. Dan pastinya, aku bisa meneruskan tidurku dalam mobil itu. Ini karena jam tidurku agak kacau akhir-akhir ini. Oh, sungguh nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan.

Di perempatan yang dikenal sebagai “perempatan setan” itu, kembali kulihat para pedagang sudah berjubel sejak jam tujuh pagi. “Perempatan setan” bukan sembarang sebutan, dinamakan demikian karena memang lampu merah di sana terbilang lama durasinya. Kalau kuhitung lampu merah bisa sampai lima menit lebih, sedang lampu hijau hanya kurang dari setengahnya. Bagiku nama ini lucu, setan kok dihubungkan sama lama tidaknya lampu lalu lintas, ada-ada saja. Aku pun tidak mau berpikir dalam-dalam, ngapain juga mempermasalahkan sebutan buat perempatan jalan.

Di salah satu tepian sisi perempatan itu terdapat taman yang cukup tertata dengan baik dengan patung pak tani memegang senjata. Di sampingnya, patung bu tani berdiri mendampingi sambil membawa bakul yang berisi padi hasil panen. Kalau kubaca dari beberapa referensi, itu adalah patung angkatan kelima. Angkatan kelima sendiri adalah cabang militer yang diusulkan oleh partai komunis pada zamannya untuk memobilisasi dan mempersenjatai buruh dan petani. Orang menyebut taman itu sebagai taman Angkatan kelima. Patung petani dan bu tani tersebut sudah terlalu sering didemo oleh berbagai pihak karena dianggap sebagai simbol komunisme. Mereka menuntut agar patung itu dihancurkan dan diganti dengan patung lain. Namun sampai saat ini patung itu masih kokoh berdiri. Aku tidak tahu apa pentingnya menghancurkan patung. Bagiku yang lebih penting adalah membenahi tata pemerintahan saat ini yang masih pekat dengan aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme. Praktek-praktek yang menurutku menjadi bahaya laten nyata yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat, dan tentu harusnya dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Dari sekian banyak penjual pada pagi itu, mataku tertuju ke anak laki-laki berbaju lusuh. Dia memegang dagangan berupa emping belinjo yang dibungkus dalam plastik ukuran kecil. Terlihat sibuk menghitung bungkusan-bungkusan itu, entah mungkin dia bingung atau karena usianya yang terlalu kecil dan belum pandai berhitung, terlihat dia menghitung dagangannya berulang kali. Selama lima menit aku menunggu lampu merah, pandanganku berjalan dan berganti ketika mobilku mulai bergerak. Aku jarang sekali membeli dari pedagang yang berjualan di “perempatan setan” itu. Seingatku bahkan tidak pernah sama sekali. Namun aku berniat untuk membeli dagangan emping belinjo anak laki-laki tadi jika aku melihatnya lagi.

Hari ini pekerjaan terasa begitu berat. Banyak sekali deadline yang harus kukejar jelang akhir tahun ini. Posisiku yang baru dengan gaji yang lebih besar dan fasilitas penunjang yang lebih baik tentunya disertai dengan tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan. Aku memimpin tim dengan jumlah anggota hampir seratus orang. Tiap hari rasanya dipenuhi dengan masalah dan tantangan. Aku juga sudah hampir lupa bagaimana rasanya menikmati matahari tenggelam di luar ruangan. Gadget kerjaku terus “memenjaraku” dalam ruang kerjaku bahkan sampai malam hari, tidak jarang sampai tengah malam. Beruntung hari ini, aku bisa pulang lebih awal, tepat sebelum jam delapan.

Supir pribadiku selalu siap siaga, termasuk semalam apapun aku pulang kantor. Jalur jalan yang aku lalui selalu sama, baik ketika berangkat atau pulang kerja. Di tengah rasa kantukku, ketika mobilku mulai dekat dengan “perempatan setan”, kulihat anak laki-laki yang pagi tadi kulihat. Ya, itu adalah anak laki-laki yang sama. Aku terperanjat karena dia masih di lokasi yang sama dan melakukan hal yang sama pula: menghitung bungkus emping belinjo. Dia tidak sendirian, ada ibu-ibu paruh baya yang berdiri di dekatnya. Dagangannya masih banyak, entah sudah habis lalu ditambahi kembali dengan dagangan yang baru atau memang tidak laku sama sekali. Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu. Seketika aku tersadar bahwa nasibku tidak jelek-jelek amat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *