Obrolan via aplikasi online akhirnya mengantarkan kami, saya dan teman baik saya sejak dulu SMP, pada percakapan berikut ini:
“Sampeyan tau numpak Gaya Baru Malam Selatan ta?”
(Kamu pernah naik Gaya Baru Malam Selatan kah?)
“Yo mesthi tau lah!”
(Ya pasti pernah lah)
Ya, obrolan kami adalah seputar pengalaman menarik dan tak terlupakan ketika di awal-awal tahun kami merantau ke ibukota, Jakarta. Gaya Baru Malam Selatan (GBMS) adalah kereta yang sekiranya sangat legendaris bagi siapa saja, terutama mereka yang uang transportasinya cekak untuk bepergian dari wilayah Jawa yang satu ke lainnya. GBMS adalah kereta angkut orang kelas ekonomi, yang saat ini sudah tidak ada lagi karena diganti dengan kereta ekonomi AC. Dulu GBMS disebut ekonomi karena memang harga tiketnya yang murah. Kereta jurusan Jakarta-Surabaya lewat jalur selatan Jawa ini dibanderol dengan harga 37.500 rupiah untuk satu tiketnya. Apakah murah? Ya relatif lebih murah dibandingkan dengan tiket kereta bisnis, tiket bus apalagi pesawat terbang.
Disebut ekonomi salah satunya ya karena fasilitas di dalamnya yang serba terbatas. Tempat duduk berhadapan satu sama lain dengan jarak kaki yang sangat sempit. Tempat duduknya terbuat dari karet dengan busa yang sangat tipis dan sandaran punggungnya tepat tegak lurus. Sirkulasi udara menggunakan AC alias angin cuma-cuma. Ada toilet tapi keadannya ya seperti itu, bahkan paling sering tidak ada arinya sama sekali. Satu hal lagi kereta ini ibarat seperti pasar karena pedagang bebas naik turun hilir mudik.
GBMS adalah langganan saya dan teman saya tersebut ketika pulang kampung saat kami menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Kenapa? Ya karena kita tidak punya uang untuk bisa membeli tiket moda transportasi lainnya yang lebih nyaman dan memadai. Hari-hari selama empat tahun saya bolak-balik Jakarta-Jombang saya lalui dengan naik GBMS ini.
Sekelumit cerita bagaimana saya mengenal GBMS ini. Siang itu hampir jam 12 dan kereta GBMS sudah siap untuk berangkat dari Stasiun Jakarta Kota. Bangku-bangku masih terlihat banyak yang kosong. Apakah kereta benar-benar kosong? Jawabannya adalah tidak. Penumpang akan mulai memenuhi kursi ketika kereta berhenti di stasiun berikutnya seperti Jatinegara dan Bekasi. Kereta yang masih sepi juga karena pedagang belum banyak mengokupansi ruang-ruang jalan sela antara kursi di dalam gerbong. Memasuki wilayah Jawa Barat, yakni Bekasi, mulailah kami disajikan dengan pasar berjalan. La kok disebut pasar berjalan? Karena semua yang kita butuhkan bisa ditemukan di sana. Mulai dari makanan, minuman, penjepit rambut, racun tikus, pisau, ikat pinggang, baju, senter, baterai jam dan lain-lainnya. Pokoknya kebutuhan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Para pedagang tersebut selalu menawarkan dagangannya ke setiap penumpang. Tidak hanya lewat kata, kadang mereka juga memberikan barang dagangan ke penumpang untuk dilihat-lihat. Biasanya satu baris bangku, yang terdiri dari 3 penumpang, akan diberi 1 sampel barang. Deru suara tawaran dagangan mereka kemudian semakin riuh dengan kehadiran pengamen dengan berbagai lagu mulai dari lagu dangdut, lagu melayu, lagu pop, lagu daerah dan makin banyak lagi. Keramaian ini ditambah dengan beberapa orang yang mengemis dengan berbagai cara. Penuh, pokoknya kereta penuh.
Kereta terus melaju menyusuri utara Jawa, di situ mulai terasa udara yagn lebih segar dibandingkan dengan di Jakarta. Sepanjang jalan juga bisa dilihat pemandangan sawah di kanan kiri. Oh alangkah indahnya negeri, begitu pikir saya. GBMS ini spesial, karena walau kursi sudah habis, tiket masih dijual oleh pihak kereta api. Saya dan teman saya lainnya yang tidak memiliki pilihan lain, ya mau tidak mau beli tiket tanpa kursi. Daripada tidak bisa pulang kampung ehehe. Lantas apa yang kami lakukan ketika tidak dapat kursi? Ya berdiri. Berdiri dimana? Dimana saja yang ada tempat untuk bisa berdiri. Sering beberapa kali saya berdiri di antara sambungan gerbong namun sayangnya seringkali pula sambungan gerbong ini penuh dengan barang. Namun sayangnya kami tidak sekuat apa yang kami harapkan. Jarak ratusan kilometer tidak cukup membuat kami kuat untuk seterusnya berdiri, akhirnya mau tidak mau kami duduk. Duduk dimana? Ya dimana saja asal bisa duduk. Yang paling sering adalah di jalan antara bangku duduk yang satu dengan yang lain. Apakah boleh? Ya boleh-boleh saja. Di dalam gerbong kamu bisa melakukan apapun: merokok, kipas-kipas, makan, buang sampah dan lainnya. Bebas sekali begitu pikir saya ehehe. Duduk di jalan bukan tanpa rintangan. Kereta penuh dengan orang, lalu lalang ke sana kemari, ya pasti kami disepak kanan kiri oke, tertendang baik sengaja maupun tidak sengaja. Tendangan kadang mengenai tangan, lengan, tubuh atau bahkan kepala saya ehehe. Tendangan antar provinsi mulai dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai Jawa Timur wkwkwkwk.
Masuk Jawa Tengah & Jogja
Lepas dari Cirebon, sore jelang maghrib, kereta mulai memasuki wilayah Jawa Tengah. Di sana saat memasuki wilayah Banyumas, mulailah sekelompok pengamen transjender masuk kereta api. Mereka dengan menggunakan kincringan seadanya mulai menyanyikan lagu. Lagunya pun unik kadang lagu dangdut atau mungkin lagu ciptaan mereka sendiri. Dengan dandanan yang lumayan menor, mereka menarik perhatian para penumpang. Tidak segan mereka juga menggoda para penumpang. Sebagian saya liat cukup terhibur karena memang mereka ini lucu-lucu. Tak jarang di antara nyanyian mereka, mereka selipi dengan kata ‘ewer-ewer’ dan itu berulang-ulang. Mereka terlihat sangat menikmati pekerjaannya itu. Sebagian penumpang lainnya terlihat takut bahkan tidak sedikit pula yang mencibir. Ya, life is hard but it gets even harder for LGBT people like them. Banyak orang menganggap itu sebagai masalah bahkan musuh. Jikapun masalah tentunya harusnya bersama mencari solusi bukan malah memusuhi.
Selepas itu kemudian muncullah rombongan ibu-ibu, mbak-mbak dan mbah-mbah penjual pecel. Mereka menyunggi (membawa sesuatu di atas kepala) dagangan mereka yang terdiri dari aneka sayuran dan gorengan dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Saya tentu heran bagaimana mereka menjaga keseimbangan di kereta yang lajunya kadang cepat kadang lambat, dan juga kadang mengerem mendadak itu. Tentu tidak mudah, tapi saya yakin mereka telah berjualan lama belasan atau bahkan puluhan tahun di kereta tersebut. Dagangan mereka adalah pecel ala Jawa Tengahan dimana aneka sayuran dipotong kemudian dijadikan satu dan ditaburi dengan bumbu pecel. Kadang ditambahkan gorengan seperti tahu dan bakwan, atau orang Jawa Timur menyebutnya othe-othe. Terlihat beberapa dari mereka yang sudah tua wajahnya kuyu dan lelah. Namun mau bagaimana lagi, begitulah hidup. Kerja atau tidak makan sama sekali. Again, life is hard
Mereka berdagang mengikuti laju kereta yang melewati Kebumen dan Purworejo. Memasuki wilayah Yogyakarta yakni Kulon Progo, mereka sudah tidak terlihat lagi. Saya yakin entah ganti kereta atau bergegas pulang jika rumah mereka di sekitar Purworejo.
Memasuki wilayah Jogja memang memberikan atmosfer tersendiri. Dari Kulon Progo ke Kota Yogyakarta memang tidak begitu jauh. Kereta kami pun berjalan mulai memelan ketika memasuki area kota. Entah saya tidak menghitung inis stasiun ke berapa yang mana kereta ini berhenti karena di setiap stasiun memang kereta ini berhenti. Stasiun berikutnya adalah Lempuyangan bukan Stasiun Tugu. Tugu hanyalah tempat parkir untuk kereta bisnis dan eksekutif. Di salah satu sisi rel, terdapat keriuhan jelang tengah malam ada lampu lampu warna warni pula. Ya itu adalah kawasan Sarkem atau Pasar Kembang. Pusat prostitusi di Kota Yogyakarta. Keberadaan Sarkem sudah cukup lama dan terkenal sampai kemana-mana. Pusat prostitusi memang banyak ditemukan di sekitaran rel kereta api di kota-kota besar seperti Jakarta, Jogja dan Surabaya. Pernah saya baca artikel bahwa keberadaan mereka jamak di sana karena dulu prostitusi memang menyasar kepada para pekerja yang membangun jalur rel kereta api tersebut sehingga memang lokasi praktek mereka dekat dengan rel kereta api. Well, kita tidak akan pernah tau apa motif seseorang terjun ke dunia prostitusi. Bisa saja memang murni karena uang, bisa saja karena untuk membiaya keluarga dan ada tanggungan lainnya. Yang jelas kita sejatinya tidak boleh menghakimi begitu saja tanpa tahu duduk masalah dan persoalannya.
Selamat Datang Rumah
Jogja, hanya sebentar disinggahi sampai kereta lanjut ke Klaten, Sragen, Solo kemudian tembus Ngawi Jawa Timur. Jam sudah menunjukkan lewat dini hari dan orang-orang sudah mulai tertidur kecuali pedagang kopi atau teh yang tetap mondar-mandir ke sana ke mari. Memasuki wilayah Madiun, mulai berseliweran pedagang brem. Brem adalah makanan kecil terbuat dari semacam tape yang disarikan dan dibentuk batangan. Brem memang khas madiun. Setelah itu kereta langsung bablas ke Nganjuk, Kertosono dan akhirnya sampai Jombang. Perjalanan sepanjang 15 jam paling cepat itu akhirnya selesai juga. Lama sekali karena memang laju kereta yang lambat serta sering ngetem ehehe. Ngetem di setiap stasiun serta di manapun untuk mengalah dan memberi jalan kereta bisnis atau eksekutif jika mereka berpapasan.
Jarak rumah saya di desa dengan stasiun kereta di pusat kota memang lumayan jauh bisa hampir satu jam. Angkutan yang tersedia juga terbatas ketika waktu masih menunjukkan jam 3-4 pagi. Saya memang seringkali menggunakan becak untuk pulang karena hanya itu yang tersedia.
GBMS adalah potret kehidupan bagaimana masyarakat, yang saya yakin, adalah masyarakat menengah ke bawah rindu akan kampung halamannya. Bagaimana masyarakat bertahan hidup dengan berdagang, mengamen, mengemis atau mungkin ada juga yang mencuri di atas kereta. Saya sendiri tentu sangat berkesan dengan GBMS. Pengalaman duduk di lantai dan ditendang kaki se Pulau Jawa serta sulitnya untuk sholat di dalam kereta menjadi kenangan yang tidak ternilai harganya. Saya senang bisa dan pernah naik kereta itu. Mengobrol dengan banyak sekali orang dengan cerita yang beragam. Namun sayang, kereta tersebut sekarang tidak ada lagi karena diganti dengan kereta ekonomi AC. Yang mana tidak boleh ada pedagang atau pengamen naik ke dalam gerbong kereta. Tidak pula mereka boleh berjualan di stasiun kereta. Entah kemana para pengamen itu, penjual kopi dan the, nenek-nenek penjual pecel, para pengamen transjender dan lainnya yang dulu hidup dari kereta GBMS tersebut. Dimanapun mereka, I wish good life for them!
Cerita dan obrolan kami renyah siang itu tentang GBMS ini. Sungguh cerita sedih namun juga lucu yang suatu saat nanti berharga kami ceritakan kepada orang lain. Kami miskin bukan karena pilihan, namun karena jalan hidup yang sudah digariskan oleh Tuhan. Sekarang kalau ingin pulang ke kampung halaman, Alhamdulillah ada rezeki lebih untuk bisa naik pesawat terbang. Sesuatu yang di masa kecil bahkan tidak terlintas di mimpi kami.
“Piye, wes ra usah ngersulo ae. Kon kan wes tau ngrasakno urep mluarat to?!”
(Sudah tidak usah mengeluh terus. Kamu kan sudah pernah merasakan hidup miskin melarat kan?!)
“Gusti Pangeran iku wes uapik karo awak e dhewe, ngekek i pengalaman seng wong akeh liane durung mesthi iso ngalami lan nglakoni ehehe”
(Allah SWT itu sudah baik kepada kita, memberikan pengalaman yang banyak orang lainnya belum tentu bisa mengalami dan menjalani)