Sudah berapa dekade ini aku tidak pulang kampung. Suara takbir menggema dari berbagai sisi di lingkungan sekitar rumahku. Bagiku, sudah tidak ada lagi alasan untuk pulang kampung. Sepeninggal ibuku yang ikut menjadi korban dari kecelakaan kapal laut, aku seperti semakin jauh terpisah dari tanah dimana aku lahir dan besar. Aku tidak bisa “bertemu” dengan ibuku bahkan lewat kuburannya karena jasad fisik ibuku dan beberapa korban lainnya tidak ditemukan. Entah dimana ibu berada, namun doaku terus menyertainya. Kuharap aku bisa bertemu dengan ibu lagi dalam situasi yang lebih baik di kehidupan berikutnya.
Lepas sholat Idul Adha tahun ini, seperti biasa aku selalu menyempatkan membeli bunga, bunga-bunga krisan. Kampungku terletak di daerah pegunungan hijau dengan udara yang sejuk. Seperti halnya daerah pegunungan lainnya, masyarakat di kampungku mayoritas bekerja sebagai petani atau pekebun. Mereka menanam aneka sayuran, buah, dan bunga. Begitu pula ibuku, kami tidak punya lahan pertanian atau kebun sendiri. Ibu sehari-hari menjadi buruh pekebun di lahan milik tetangga kami. Rezeki ibu tidak seberapa namun cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar kami. Di depan rumah kami ada lahan yang kemudian disulap ibuku menjadi taman dengan aneka bunga. “Tangan dingin” ibuku membuat apapun yang ditanamnya selalu tumbuh subur. Taman rumah kami terbilang cukup tertata dan indah dengan warna-warni aneka bunga krisan. Aku sangat bangga karena banyak tetangga yang memuji taman ini. Teman-teman masa kecilku juga menjadi betah berlama-lama bermain di rumahku.
Kami adalah keluarga yang terdiri dari empat orang. Aku adalah anak perempuan dan bungsu dari dua bersaudara. Bapak adalah buruh pekebun juga sama seperti ibuku. Sejuknya udara di daerah kami tidak membuat suasana rumah kami sama sejuknya. Sejak kecil, aku sudah terbiasa mendengar pertengkaran antara ibu dan bapakku. Yang diributkan pun beragam mulai dari masalah ekonomi sampai masalah cara membesarkan anak. Tidak hanya suara, kadang pukulan atau bogeman bapak juga sering melayang ke ibu, bahkan di depan mata kepalaku sendiri. Ibu tidak lantas menangis, lalu pergi begitu saja ke dalam kamar dengan membawaku ikut serta. Ibuku bukan perempuan yang banyak mau. Sifat yang kemudian menurun kepadaku. Bagi kami, makan dengan nasi dan sayur pemberian tetangga pemilik kebun lebih dari cukup. Begitupun aku, tidak pernah aku meminta macam-macam mainan seperti halnya teman sebayaku. Sebagai ibu rumah tangga pada umumnya, ibuku juga mengurus semua urusan domestik. Dalam bermasyarakat, dia ikut aktif dalam pengajian ibu-ibu di desa kami. Namun kondisi ekonomi kami memang tidak baik-baik saja. Bukan kami tidak bersyukur atas apa yang kami punya, namun karena kelakuan bapakku dan juga saudara laki-lakiku yang kelewat batas dan sering membuat ibu mengelus dada. Bapakku menghabiskan uangnya di arena sabung ayam. Sedang saudara laki-lakiku mengikuti jejaknya. Tidak jarang mereka bahkan pulang berdua dalam kondisi setengah sadar. Entah nilai apa yang ingin mereka perlihatkan. Sudah tak terhitung berapa kali ibuku menasehati mereka dengan berbagai cara, namun tidak pernah berhasil. Ibuku harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Di tengah lelah ibuku, kadang di malam hari, kuingat bapak berteriak dan minta uang. Buat apalagi selain untuk judi sabung ayam dan minum-minuman keras.
Kuingat beberapa hari sebelum kepergian ibuku ke tanah seberang, beberapa orang sering mendatangi rumah kami. Mereka mencari keberadaan bapak dan saudara laki-lakiku. Aku tidak paham apa yang ibu bicarakan dengan orang-orang itu. Namun seringkali orang-orang tersebut berteriak dengan nada tinggi. Sepertinya masalah utang. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali namun berulang-ulang selama berminggu-minggu. Bapak dan saudara laki-lakipun tidak diketahui kemana batang hidungnya.
Ibuku adalah orang yang kuat. Seingaku tidak pernah mengeluh. Dalam satu malam, ketika ibu menemaniku belajar, dia berkata bahwa dia akan pergi bekerja jauh ke tanah seberang. Dia juga bilang bahwa aku akan dititipkan ke nenek yang rumahnya ada di desa tetangga. Kata ibu, jika sudah dapat banyak uang aku akan dibelikan banyak baju dan mainan bagus. Perkataan manis yang aku akan ingat terus sepanjang hidupku. Ketika mengingatnya aku tersenyum dan merasakan cinta tulus ibu kepada anaknya. Paginya, aku diantar ke rumah nenek dengan pakaianku yang sudah dikemas dalam beberapa tas jinjing. Aku tidak sadar bahwa itulah kali terakhir aku bertemu dengan ibu. Dia menitipkanku kepada nenek dengan memberikan beberapa potong bunga krisan dan biji bunga tersebut. Katanya, biji itu perlu segera ditanam di halaman rumah nenek. Jika nanti ingat dan rindu keberadaannya, aku cukup melihat bunga-bunga itu. Begitulah pesan terakhir ibuku.
Waktu berjalan begitu cepat. Aku tidak pernah bertemu ibuku lagi. Namun dalam satu hari yang membuatku sangat sedih, nenekku bilang bahwa ibuku menjadi korban dalam kecelakaan tenggelamnya kapal penumpang. Saat itu aku hanya anak usia sekolah menengah pertama yang tidak tahu apa-apa. Dua tahun kemudian nenekku meninggal. Nenekku terlihat begitu terpukul atas kepergian ibuku. Apapun yang terjadi, hidup terus berjalan. Aku hidup sendiri dari pekerjaan yang aku lakoni sebagai buruh kebun musiman, seperti pekerjaan ibuku. Namun “warisan” ibuku tetap aku jaga, bunga-bunga krisan itu, yang menjadi pengingatku akan keberadaannya dan keberadaan nenekku.
Sudah beberapa dekade ini aku merantau ke kota dan tiap lebaran aku selalu membeli bunga krisan lebih banyak daripada hari-hari biasa. Bunga ini menjadi penghubung rasa rinduku akan ibu dan nenekku.