Belajar Banyak dari Orang Baduy
Belajar Banyak dari Orang Baduy

Belajar Banyak dari Orang Baduy

Pagi itu, kami datang memang agak telat dibandingkan jadwal semula yang kami buat. Harusnya kami sudah berada di Ciboleger sebelum jam 6 pagi. Namun karena karena satu dan lain hal akhirnya kami sampai di sana jam setengah sembilan. Ciboleger pagi itu sudah ramai, dan akan lebih ramai ketika siang datang. Ciboleger adalah salah satu pintu masuk ke kawasan Baduy yang ada di daerah Kabupaten Lebak. Di pagi itu, kami sudah disambut dengan banyak sekali orang yang menjajakan tongkat kayu yang dihargai sepuluh ribu untuk 3 tongkat. Selain itu, beberapa orang yang berpakaian khas sudah berjajar di berbagai sisi. Mereka ini adalah orang Baduy yang berprofesi sebagai guide dan juga porter. Mereka ini yang senantiasa membantu para wisatawan untuk menjelajahi wilayah mereka. Di Ciboleger terdapat tugu patung selamat datang berupa keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak perempuan dan anak laki-laki. Tugu ini menjadi landmark di daerah tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa berbagai toko-toko merchandise yang menjual kerajinan khas sana mulai tenun, kerajinan dari kayu, bambu dan akar pohon serta lainnya.

Perkenalan saya dengan Baduy bukanlah pertama kali ini. Jauh dulu sebelumnya saat saya SD, saya sudah belajar tentang keberadaan suku-suku di Indonesia, salah satunya Suku Baduy. Dan dalam perjalanan pertama saya ke tanah air mereka, saya sangat antusias dan bersemangat. Sebelumnya saya mendapatkan banyak sekali informasi dari berbagai buku, artikel dan berita verbal yang saya dengar. Suku Baduy itu unik dan istimewa begitu inti dari informasi yang saya dapatkan.

Rombongan kami yang berjumlah 30 orang lebih memang membawa banyak sekali barang yang kami bawa. Saya, dengan segala kerepotan seperti biasanya, juga membawa banyak sekali barang kepanitiaan. Sudah empat tahun ini saya menjadi panitia Geo-Tour, salah satu agenda tahunan Komunitas Jalan Jalan Baik yang dulu bernama Blacktrailers. Agenda jalan-jalan ini memang kami set berbeda dengan agenda jalan-jalan biasanya. Karena selalu ada sisipan acara dan agenda yang menekankan pada pentingnya menjadi pejalan atau travellers yang bertanggungjawab. Dari sekian banyak teman-teman yang membantu membawa barang kami, ada dua anak kecil yang saya lihat. Sontak saya bertanya kepada panitia yang lain:

‘apakah ini tidak apa-apa?’

Sulit dibayangkan bahwa anak sekecil mereka menenteng tas yang lumayan berat di medan alam yang juga tidak terbilang mudah. Lantas dari jawaban yang saya dapat katanya mereka sudah terbiasa membawa barang dengan memanggul di daerah mereka dari Baduy luar atau bahkan Baduy Dalam menuju Ciboleger, membawa hasil tani dan ladang untuk dijual. Jawaban ini membuat saya sedikit lega. Cerita tentang Geo-Tour Baduy akan kami sajikan dalam artikel terpisah. Artikel ini saya khususkan untuk membahas tentang banyaknya pelajaran hidup yang saya ambil. Berikut ini di antaranya.

‘Our little friend from Baduy; dia berasal dari Baduy Dalam’

Leganya Hidup, Lapangnya Alam

Memasuki wilayah Baduy Luar, saya dan rombongan disajikan pemandangan alam yang indah, hijau, lapang, asri atau kata apapun yang bisa menggambarkannya. Ya, saya suka sekali dengan alam dan memang alam menjadi tempat yang tepat untuk kontemplasi akan apapun. Saya sendiri sejatinya tidak suka naik gunung. Pernah dulu waktu SMA, saya pernah naik gunung/ pegunungan dan tersesat dan lepas dari rombongan. Untungnya, saya akhirnya menemukan perkampungan penduduk setelah berjalan lama. Jika tidak, entah mungkin saya tidak bisa menulis artikel ini sekarang. Menyusuri jalan-jalan setapak di Baduy sungguh menyenangkan. Di kanan kiri kami bisa menikmati hutan, ladang, aliran air sungai, serta sesekali perkampungan penduduk.

Masyarakat Baduy memang selalu menyatu dengan alam, mereka juga hidup dari dan untuk alam. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu, rumbia dan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka. Merekapun melarang keras penggunaan bahan-bahan kimia termasuk sabun, pasta gigi, sampo dan lainnya untuk menjaga kelestarian alam di sana. Hal-hal ini yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy sampai sekarang.

Tidak Ada Keinginan, Kecemburuan

Arus wisatawan makin banyak berdatangan ke Baduy. Mereka rata-rata melintasi Baduy Luar dan kemudian ke Baduy Dalam. Begitu juga dengan rombongan kami. Jumlah wisatawan datang dalam jumlah yang lebih besar ketika weekend datang. Wisatawan ini tentu datang dengan membawa banyak hal; penampilan yang berbeda, peralatan yang berbeda, teknologi dari piranti yang mereka bawa dan lainnya. Hal-hal yang sekiranya baru dan tidak ada sebelumnya di daerah itu. Beruntung kami mendapat guide yang mahir bercerita dan berbahasa Indonesia. Di sela-sela istirahat kami di pematang ladang dan pinggiran kampung, dia dengan lugas bercerita tentang kehidupan di Baduy. Saya pasti sangat antusias bertanya:

‘Dengan melihat begitu banyak hal yang berbeda yang dibawa wisatawan atau ada di daerah luar Baduy, apakah hal ini tidak membuat orang sana merasa iri atau ingin memiliki hal yang sama?’

Dengan bijak dia menjawab: sejatinya kami sudah memiliki hidup yang bahagia di sini. Semuanya sudah cukup kami dapatkan dari alam. Kami memiliki hidup sendiri begitu juga dengan orang lain. Kami tidak memiliki alasan untuk cemburu atau iri dengan orang lain yang kehidupannya bukan porsi dari kehidupan kami.

Mungkin pernah kamu tahu bahwa beberapa dari orang Baduy ini seringkali berpergian jauh bahkan sampai ke Ibukota Jakarta. Apa yang mereka lakukan? Adalah mencari orang yang dulu pernah mengunjungi daerah mereka untuk menyambung silaturahmi. Beberapa pengunjung memang pernah meninggalkan alamat dan mereka ingin mengundang orang-orang Baduy ke tempat mereka. Dengan berbekal beberapa kerajinan dan madu, mereka menyusuri jalanan dengan berjalan kaki dan menjual barang-barang tersebut untuk bekal sepanjang perjalanan mereka. Tentu sepanjang jalan mereka melihat banyak sekali hal-hal berbeda dari apa yang ada dalam kehidupan mereka; alat transportasi, teknologi, gedung bertingkat dan sebagainya. Namun kata Bapak tadi, hal tersebut tidaklah mengubah pandangan mereka akan hidup.

Menjaga Pesan Karuhun

Di Baduy, masyarakatnya sangat menjaga apa-apa aturan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Banyak sekali yang saya dengar misalnya;

  • tidak bolehnya memelihara binatang berkaki empat
  • tidak bolehnya menanam singkong
  • tidak bolehnya menebang pohon sembarangan
  • tidak boleh adanya listrik
  • tidak boleh adanya pengambilan gambar di Baduy Dalam
  • tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki
  • tidak diperbolehkan naik kendaraan bermotor

dan masih banyak lagi. Banyak di antara aturan-aturan tersebut yang memiliki jawaban yang bagi banyak orang akan logis adanya. Namun beberapa memang tidak memiliki alasan, dari apa yang saya dengar dan mohon maaf jika salah, secara pasti. Apa-apa telah digariskan oleh leluhur dan hal itu pula yang harus dipegang teguh sampai kapanpun. Saya melihat tentang bagaimana nilai-nilai ini menjadi sesuatu yang sangat dihormati dan diajarkan dalam kehidupan sehari-hari, dimanapun mereka berada. Katanya, walaupun tidak ada yang melihat namun batin karuhun akan selalu melihat. Kesetiaan pada warisan leluhur ini sangat patut dicontoh oleh siapapun, di saat pengaruh budaya dari luar telah menggerus banyak jati diri dan kharakter dari bangsa-bangsa lainnya.

‘Anak perempuan Baduy di Ciboleger’

Penghormatan Kepada Pemerintah

Mungkin banyak yang mengernyitkan dahi ketika tahu bagaimana di sana ketika malam sangat gelap gulita, padahal potensi aliran listrik dapat mudah diupayakan. Namun inilah uniknya daerah ini. Sudah sejak lama tawaran elektrifikasi ini disodorkan oleh pemerintah, namun dengan rendah hati ditolak. Apa-apa telah disediakan oleh alam dan itu lebih dari cukup. Begitu pula misalnya wajib belajar 9 tahun tidak berlaku di sini. Walau seolah pemerintah formal tidak hadir di daerah ini, namun keberadaan mereka masih mendapatkan penghormatan dan penghargaan bagi masyarakat Baduy. Setiap tahun mereka mengadakan tradisi Seba untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah setempat yakni Pemerintah Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten. Ribuan warga berbondong-bondong menuju kantor bupati dengan membawa aneka hasil pertanian. Mereka percaya bahwa di dunia ini memang sudah di atur peran masing-masing; ada masyarakat, pu’un atau tetua adat dan pemerintah. Bagi saya ini adalah pemberian yang ikhlas, dimana masyarakat memberikan apresiasi tanpa meminta kembali.

‘Salah satu teman Baduy yang membantu kami dalam selama perjalanan’

Silaturahmi yang Terus Bersambung

I always make people-to-people connection dan ketika saya berada di Baduy itu juga terjadi. Seperti dijelaskan di atas bahwa masyarakat sana menyambut wisatawan dengan baik dan mereka juga senang daerahnya didatangi. Dan dari situ mereka juga menjalin pertemanan dan persaudaraan para pendatang. Mereka kerap bepergian jauh bahkan sampai ke Jakarta untuk menemui teman/ saudara baru mereka. Mereka menempuh jarak ratusan kilometer dengan berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Tentu suatu pembelajaran yang sangat patut dicontoh bahwa sesulit apapun keadaan namun tidak ada alasan untuk menyambung silaturahmi.

Kesederhanaan dan Kebahagiaan Hidup

Kesederhanaan membawa kebahagiaan. Itulah yang saya lihat selama di Baduy, masyarakatnya hidup dengan bersahaja. Tidak terlalu bermewah-mewah untuk merasakan berkah dalam hidup. Ketika saya bermalam di Baduy Dalam, rumah dibuat dengan sederhana tanpa ada perabotan yang berlebihan. Semua rumah dibuat hampir serupa. Bajupun dibuat serupa warna dan jenis. Saya sendiri menganggap bahwa itu semacam pemerataan untuk menghindarkan adanya kecemburuan sosial. Mungkin kita tahu sendiri bahwa seringkali masyarakat berpikir bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau. Namun di sana seluruh rumput hijau adanya, membahagiakan sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *