Entah sudah berapa lama aku tidak bertemu dia. Kehadirannya membuatku setidaknya percaya bahwa di tengah neraka pun, dimana orang jahat berkumpul, masih ada orang yang masih punya rasa kebaikan. Tidak banyak yang kuingat dari sosoknya, dia tidak banyak berbicara. Dia pun tidak melakukan apa-apa. Kadang dia hanya memandangiku dengan tatapan kosong. Setelah sekian puluh menit di dalam ruangan itu dan hanya duduk terdiam, biasanya dia kemudian memberiku sepotong kue. Mungkin dia tahu bahwa aku memang butuh makan yang layak dan cukup. Tubuhku kering kerontang dan rasanya seperti mati rasa. Entah orang biadab seperti apa yang tega memperlakukan anak kecil sepertiku dengan cara-cara seperti binatang.
Dalam sebulan, aku hanya diberi “hari kebebasan” selama sekali. Itupun dengan pengawasan ketat. Setidaknya, aku bisa bertemu dengan beberapa anak perempuan lainnya yang aku sudah anggap sebagai teman atau bahkan keluarga sendiri. Kami berasal dari pedesaan di Pulau Jawa: dibawa dan diangkut ke kamp-kamp tentara yang ada di Kalimantan. Tidak banyak yang kutahu saat itu. Namun itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan kedua orang tuaku sebelum aku digelandang ke atas truk. Di “hari kebebasan” itu, aku bisa menarik napas lebih panjang. Biasanya, sepanjang malam yang kudengar hanyalah tangisan dan rintihan kesakitan dari teman-teman sebayaku yang ada dalam ianjo itu. Akupun mengalami hal yang sama, tidak lebih baik dari mereka. Hidupku hancur, tidak bersisa. Kadang jika dulu ada pilihan mati, maka aku lebih memilih pilihan ini. Pernah ada seseorang yang mencoba mengakhiri hidupnya. Namun tentara-tentara itu memergoki dan menghajarnya habis-habisan. Setelah berita itu terdengar, aku tidak tahu lagi dimana keberadaan dan bagaimana nasib anak perempuan malang tersebut: sungguh biadab!
Teringat dulu masa-masa ketika aku masih di kampung halaman. Aku, seperti halnya anak-anak pada umumnya, bersekolah dan bermain. Hidup kala itu tidak terlalu mudah, namun tidak sebedebah ketika aku berada di pulau seberang. Ibuku adalah buruh tani sedang bapakku bekerja sebagai tukang kebersihan di kantor kelurahan. Kami tidak kaya, namun cukup. Hari-hari, kami lewati dengan syukur. Sampai petaka itu menyapa kami, ketika bangsa bermata sipit itu datang dan mengaku sebagai saudara tua. Mereka membawa bencana bagiku dan banyak orang lainnya. Entah sudah berapa kali kekerasan fisik aku terima. Akupun sudah tidak bisa membayangkan apakah ada kekerasan psikologis dan seksual yang lebih kejam dari yang aku dan teman-temanku alami. Kami tidak punya pilihan, bahkan pilihan untuk mati pun tidak ada.
Entah ini halaman keberapa yang aku tulis dalam buku catatanku. Di usiaku yang sudah senja, aku tidak bisa mewariskan apa-apa kecuali cerita pilu tentang trauma dan stigma yang aku rasakan sampai sekarang. Teman-temanku lainnya, yang juga penyintas, telah berpulang satu per satu. Aku sedih sekaligus bahagia. Sedih karena kami masih jauh merasakan keadilan dan aku makin merasa sendirian kesepian. Beberapa pihak seperti LSM secara konsisten mengadvokasi keberadaan kami. Aku berterima kasih kepada mereka. Setidaknya mereka bisa menjadi tempatku bercerita. Atas kepergian teman-temanku, aku juga bahagia karena mereka akhirnya mendapatkan pilihan untuk kembali kepada Sang Pencipta. Lepas dari dunia yang kejam ini. Aku tidak berharap banyak pada pemerintah untuk menuntut para pelaku kejahatan dan pemerintah mereka meminta maaf secara tulus. Akupun tidak meminta pemerintah untuk mengakui keberadaan kami dan memasukkan cerita kami dalam pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan negara ini. Aku hanya berharap bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi bagi perempuan manapun di negeri ini. Jangan biarkan hidup mereka juga hancur seperti yang kami alami.
Di antara halaman-halaman buku catatanku, kuselipkan uang lembaran yang aku terima sekitar tahun 1944-an itu. Itulah terakhir kali aku berjumpa dengannya. Saat dimana dia memberiku uang lembaran tersebut. Dia memelukku dengan lembut, sembari berujar dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Katanya, aku mengingatkannya pada adik perempuan kandungnya yang juga mengalami nasib sama sepertiku. Kuingat bahwa nama pria itu adalah Kento.