Muak sekali aku melihat gelagat pria itu. Memasuki pintu masuk Balai Agung, dia menggandeng salah satu perempuan tercantik di negeri ini. “Kok mau-maunya perempuan itu jadi pasangannya! Apa dia tidak tahu kalau laki-laki itu benar-benar brengsek?” geramku. Bau sepatunya masih pekat dengan aroma lokalisasi kelas atas yang dia kunjungi kemarin malam. Habis “enak-enak” dengan salah satu perempuan penjaja di sana, dia lantas pergi begitu saja tanpa membayar setelah “pasangan mainnya” itu klenger tak berdaya memuaskan gairahnya semalam suntuk. Pria itu, yang merupakan salah satu cucu pengusaha paling sukses di negeri ini, sengaja memang membuat pasangannya pingsan dan tidak membayar, karena itu adalah sumber kenikmatan tersendiri baginya: benar-benar edan. Tidak susah baginya untuk membayar kenikmatan sebatas puluhan atau bahkan ratusan juta sekali kencan.
Lepas pasangan yang konon paling serasi di negeri ini, bau sangit mulai terasa dari deratan sepatu politisi. Aku bisa tahu betul bahwa mayoritas dari mereka adalah pembohong. Ketika doorstop dan kaki busuk mereka menginjak-injakku, berbagai kalimat bualan dan omong kosong dilontarkan tanpa batas dari mulut mereka ke awak media. Satu orang berbicara program pengentasan kemiskinan yang seutuhnya manfaat ditujukan untuk masyarakat. Padahal tidak kurang dari sejam sebelumnya mereka berembug menentukan strategi menggarong dan menyunat dana program tersebut. Satu lainnya bilang bahwa mereka akan kuat dan konsisten menjadi oposisi, padahal sejatinya di balik layar mereka tetap bermufakat jahat bersama-sama. Jika saja aku bisa muntah pasti sudah banyak yang aku keluarkan dari perut dan mulutku. Tapi aku tidak punya perut dan mulut, jadi kutelan saja semua kebusukan dari mulut mereka.
Lepas mendengar ocehan-ocehan omong kosong para politikus itu, bau kaki yang tak kalah busuk mulai mendekatiku. “Oh, ternyata Pak Tua itu!” gumamku. Terakhir dia menginjakkan kakinya di atasku, baunya tidak sebusuk ini. Orang alim katanya dan punya pusat belajar aliran kepercayaan ternama, sering diundang ke berbagai acara untuk memberikan arahan dan bimbingan tentang meraih kebahagiaan dalam hidup. Namun dalam prakteknya, dalam setiap latihan pernafasan yang dia adakan dalam beberapa hari dan malam, dia sering ke kamar pengikutnya dengan dalih melakukan ritual tengah malam. Padahal dia hanya ke sana untuk mesum dan memuaskan birahi, sungguh terkutuk!
Malam itu Balai Agung memang sangat ramai. Sedang digelar jamuan makan malam dimana yang diundang hanyalah orang-orang pilihan dari berbagai bidang. Lepas jam 7 malam makin banyak yang datang. Entah sial sekali nasibku malam ini. Hentakan kaki dan sepatu atau alas kaki yang kucium adalah yang berbau busuk. Sampai akhirnya lamat-lamat kuhirup aroma wangi mulai mendekat. Oh siapa dia? Betapa kagetnya aku ketika melihat Bi Saidah, begitu namanya mantan cleaning service Balai Agung ada di sekitarku. Bi Saidah sudah hampir dua tahun pensiun. Entah apa angin yang membawanya ke sini lagi. Ketika tepat di hadapanku, seperti biasa Bi Saidah mulai membersihkanku dari satu sisi ke sisi lainnya. Kejeliannya tidak berkurang walau matanya terlihat makin buram, begitu pula perhatiannya terhadap barang yang sering dianggap hina oleh banyak orang. Hina karena memang aku harus menerima takdir rela diinjak-injak oleh siapapun. Setelah mencium harum kaki Bi Saidah, aku baru tahu bahwa dia karena kebutuhan ekonomi dan kebaikan pengelola Gedung Agung, akhirnya dipekerjakan kembali. Bi Saidah harus membesarkan dua cucunya yang yatim piatu. Anak semata wayangnya dan menantunya harus meregang nyawa dalam tragedi tenggelamnya kapal antar pulau beberapa tahun lalu. Di tengah keterbatasannya pun, Bi Saidah menyisihkan uangnya untuk membeli sabun dan pengharum ruangan untuk musholla yang tidak jauh dari rumahnya. Aku sangat terenyuh campur bahagia, akhirnya bisa bertemu dengan bau wangi yang menghilangkan rentetan bau busuk yang sebelumnya kucium. Dan lebih tersentuh lagi melihat kebaikan Bi Saidah tidah berubah di antara gelombang pengaruh besar orang-orang brengsek di negeri ini.