Kata banyak orang orang hari ini adalah hari istimewa. Bagi sebagian orang ini adalah perayaan dimana banyak mereka berbondong-bondong memakai pakaian tradisional atau sekedar membuat ucapan-ucapan manis. Menurutku itu hanya sebatas simbolis tanpa adanya makna sesungguhnya. Bagiku hari ini tidak ada bedanya dengan hari-hari lainnya, aku masih berjuang. Namun satu yang pasti bahwa buku setebal lebih dari 500 halaman itu masih menjadi barang favoritku dan yang paling berharga di antara banyak barang bekas lainnya. Nasib, begitulah nasib, aku hanya bisa beli barang bekas karena uangku yang cekak.
Aku tidak tahu siapa bapakku. Pun ibuku setelah dia meninggal, ketika konon katanya aku berumur lima tahun, kemudian membuatkan berlabuh selama belasan tahun di panti asuhan di ujung kota. Tidak ada rasa dendam akan nasib ini. Akupun selalu bersyukur bahwa setidaknya aku masih hidup sampai sekarang, dengan segala pahit getir perjuangan diriku sebagai seorang perempuan. Aku tidak punya siapa-siapa selain pengurus panti asuhan yang sudah uzur dan sudah kuanggap keluarga sendiri.
Siang itu sangat panas, cuaca begitu aneh. Hujan kadang-kadang tiba begitu saja dengan cepat. Lalu matahari mulai menunjukkan taringnya kembali. Sejujurnya, aku tidak begitu peduli sebenarnya. Aku lebih peduli pada isi dompetku yang hanya tinggal 1 lembar uang kertas bergambar pahlawan membawa senjata seperti golok. Sekarang ini, cari kerja susah sekali. Apalagi bagi pengangguran sepertiku. Bagiku yang lulusan sekolah seadanya, kerja apapun akan kulakukan. Ya, tentunya asal halal dan tidak menyakiti atau mengambil hak orang lain. Ini adalah prinsip yang kupegang teguh sampai sekarang; boleh kere asal tidak brengsek dan merugikan orang lain. Terakhir aku bekerja sebagai tukang bersih-bersih kafe yang ada di pusat kota. Gajinya tidak banyak namun yang penting aku bisa makan dan menabung seadanya. Aku berhenti karena tak tahan melihat kelakuan angkuh para pengunjung café itu. Mereka anak-anak muda perlente yang berlagak bahwa dunia ini hanya milik mereka, bebas berceracau dengan suara lantang hampir teriak, tertawa terbahak-bahak, dan yang lebih parah lagi jorok sekali tidak ada sadar kebersihan. Sungguh tiada etika, begitu pikirku. Uang ternyata tidak bisa membeli etika. Tidak jarang aku sering dibentak mereka atas alasan yang tidak masuk akal. Gaji di cafe itu tidak bisa membeli harga diriku. Aku kere tapi masih ingin jadi manusia bermartabat.
Sayup-sayup kudengar suara adzan dhuhur dari musholla yang tidak jauh dari kost ku. Seperti biasa kakek tua itu selalu jadi pengingat akan Tuhan lewat suaranya yang makin lirih, lima waktu. Kakek itu bilang bahwa aku seperti cucunya yang sudah lama merantau ke pulau seberang. Nasibnya tidak lebih baik dari nasibku. Kakek itu hidup bersama dengan istrinya dari uang bulanan sebagai marbot. Karena kebaikan hatinya, jika aku punya rezeki berlebih, aku berbagi semampuku. Suara pujian makin bertalu, memanggil-manggil para pencari Tuhan. Malangnya, kadang tidak ada orang lain selain aku yang datang ke musholla itu.
Terhanyut dalam suara pujian, aku semakin berpikir bahwa hidup kadang memang tidak bisa diperkirakan. Aku kadang kesal mendengar banyak berita yang konon sangat inspiratif tentang turunan orang kaya atau ningrat yang dengan bangganya bercerita tentang pencapaian dan kesuksesannya. Bagiku itu hanya omong kosong belaka. Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya tinggal di kamar sempit ukuran sebujur badan. Apa juga mereka tahu rasanya jalan belasan kilo karena tiada ongkos naik kendaraan umum? Pun aku juga sangat jengkel dengan klaim pemerintah tentang keberhasilan mengurangi angka kemiskinan. Katanya program mereka bisa signifikan mengurangi jumlah orang miskin dan meningkatkan status kaum papa itu menjadi masyarakat kelas menengah. Aduh …. bualan macam apalagi ini. Aku yang faktanya miskin pun yakin sekali tidak pernah terdata sebagai masyarakat miskin. Lantas angka-angka apa yang mereka omongkan? Apapun itu, bagiku yang terus berjuang, aku yakin bahwa semua penderitaan yang aku alami akan menemukan babak akhirnya, walau entah kapan.
Perutku makin lama makin keroncongan. Uangku setidaknya cukup untuk beli 3 bungkus mie kemasan dan bisa membuatkan bertahan hidup tiga hari ke depan. Iqomat sudah terdengar, artinya aku segera harus beranjak ke musholla itu. Meteran listrik itu berbunyi makin nyaring, listrikku habis. Tentunya aku tidak ada uang untuk beli token listrik. Alamat, hari ini aku tidur kembali di musholla. Tapi pesan singkat yang barusan aku terima dari teman baikku yang berbunyi “Selamat Hari Kartini ya!” membuat beban hidupku terasa jauh lebih ringan seketika.