Dia Sering Muncul
Dia Sering Muncul

Dia Sering Muncul

Dia sudah bersama kami di rumah ini sejak kami pindah sekitar tahun 2012 lalu. Cukup lama dia menemani hari-hari kami. Entah dari mana asalnya, namun setidaknya bagiku, aku sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga kami. Kadang ibuku merasa risih dan sedikit kesal karena beberapa kali perabot dapur berpindah karena ulahnya. Kadang dia memang suka usil dan jahil. Tapi untuk beberapa urusan, aku kira dia bisa diandalkan. Misalnya ketika kami sekeluarga pergi keluar kota, dia menjaga rumah kami sehingga tidak pernah sekalipun maling berani masuk. Melengos ke arah rumah kami saja tidak berani, apalagi sampai masuk ehehe. Dia memang suka bersuara lantang, yang membuat beberapa orang pasti akan nyiut nyalinya.

Siang itu kami kedatangan tamu, keluarga dari jauh. Sudah beberapa lebaran ini kami tidak berjumpa. Selalu saja ada alasan kenapa pertemuan itu tidak terjadi. Dalam rombongan kunjungan itu ada setidaknya delapan orang. Rumahku yang punya halaman luas seluas bangunannya memang mampu menampung orang bisa sampai 40an orang. Itu pula yang membuat ibuku, yang merupakan salah satu penggerak komunitas di daerah kami sering mengadakan rapat atau sekedar kumpul-kumpul. Pertemuan keluarga saat itu ramai sekali. Beberapa anak-anak terlihat berlari-larian di halaman dan sesekali mereka berdiri di tepi kolam yang penuh ikan warna-warni. Beberapa anak-anak kulihat bercengkerama dengan dia dan sesekali tersimbul tawa di wajah mereka. Aku senang ternyata kedatangan keluargaku benar-benar didukung oleh semesta. Semua bagian keluargaku menerima apa adanya.

Kadang atas asal usulnya aku juga penasaran. Darimana asalnya? Siapa orang tuanya? Tapi makin kutanya, makin khawatir aku menjadi gila. Orang dia bukan manusia dan tidak bisa bicara dengan bahasa manusia. Bagaimana aku bisa memahami bahasanya? Tapi sudahlah, aku kubur pertanyaan itu kembali dalam-dalam. Yang penting kami semua merasa nyaman tinggal di rumah itu.

Sebagai pegiat masyarakat, tentu ada orang-orang yang tidak menyukai orang tuaku. Rapat terakhir yang berlangsung di rumahku, kudengar adalah adanya rencana untuk melakukan demonstrasi karena penyelewengan dana desa yang sudah terjadi bertahun-tahun. Desa kami terletak di pegunungan. Beberapa akses jalannya hancur dan dibiarkan kondisinya begitu saja. Begitu juga beberapa fasilitas umum, sepertinya tidak ada upaya renovasi dari pemerintah desa sama sekali. Lurah di desaku memang agak-agak. Sudah jadi rahasia umum kalau dia sering ngentit uang dana desa untuk kepentingan pribadinya. Ada yang bilang dia suka main wanita, ada juga yang bilang dia suka main judi online. Apapun beritanya, tidak ada yang baik-baik yang aku dengar. Sejatinya, sudah banyak protes atau omongan masyarakat. Tapi lurah itu tidak merespon sama sekali. Orang tuaku pun, yang dulu mudanya adalah aktivits, juga tidak tinggal diam. Setahuku mereka sudah menyiapkan laporan yang akan dikirimkan ke pihak berwajib terkait dengan praktek korupsi yang lurah itu lakukan.

Saat aku asyik membaca buku di kamarku yang kecil, kudengar ada orang datang kemudian menggedor-gedor pintu. Entah apa maksudnya kok malam hari sekali dia menggedor pintu seperti itu. Kuintip dari pintu kamarku yang langsung berhadapan dengan ruang tamu. Beberapa orang duduk setelah Bapakku membuka pintu. Mukanya bukanlah muka asing yang tidak aku kenal. Satu orang menggebrak meja; aduh ada apalagi malam-malam ini, pikirku. Sepertinya rencana pelaporan lurah itu sudah menyebar, begitu pula rencana demo. Aku beranikan untuk keluar kamar dan berdiri di depan pintuku. Terlihat wajah tiga orang bapak-bapak itu garang sekali. Seperti mau melahap apapun yang ada di depannya. Namun, tidak lama setelah gebrakan meja itu kudengar, wajah mereka berubah yang mulanya merah karena amarah kemudian berubah seperti ketakutan. Oh, ternyata dia muncul lagi. Kali ini dia menggantung di dinding dengan wajah penuh darah menetes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *