Peringatan kemerdekaan tinggal hitungan hari. Seperti biasa bapakku tidak terlalu antusias melihat para tetangga bekerja bakti membersihkan lingkungan dan menyiapkan berbagai acara pesta rakyat. Ketika selembar surat dikirim ke rumah kami oleh Ketua RT, bapak selalu menjawab dengan alasan yang sama: tidak enak badan. Dia memang orang yang kritis, jika tidak boleh disebut aneh, karena berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Terakhir dia meracau soal lomba-lomba kemerdekaan yang hadiahnya berasal dari tarikan wajib warga. Sifat iuran ini tidak sukarela namun dipatok dengan jumlah tertentu. Yang lebih membuat jengkel, termasuk akupun dibuat jengkel, adalah jumlahnya yang begitu besar setidaknya bagi keluarga miskin seperti kami. Tidak ada juga pembeda jumlah iuran tersebut antara keluarga kaya dan keluarga miskin. Mungkin pengurus RT itu menerapkan prinsip keadilan: sama rasa, sama pusingnya, sama terbebannya. “Aneh sekali, lomba kok hadiahnya dari uang tarikan per rumah. Apa bedanya dengan judi? Lomba diadu lantas uangnya diberikan untuk pemenangnya!” begitu kata bapak. Pernyataan ini juga bukan pertama kali kudengar darinya, dan aku yakin akan terus kudengar ketika Agustus datang. Aku pun sering berpikir kenapa pengurus RT harus menarik uang dari tiap rumah, harusnya bisa berpikir lebih kreatif mencari pendanaan alternatif. Ini adalah momen kemerdekaan, momen kebebasan. Kebebasan yang kuartikan salah satunya sebagai kebebasan dari tekanan ekonomi. Walau aku tidak menyangkal bahwa dulu saat kecil aku juga suka ikut lomba-lomba itu, apalagi kalau bukan karena hadiahnya yang menarik bagiku. Kenapa Agustusan justru menambah beban ekonomi warga? Menurutku kemerdekaan sudah kehilangan esensinya atau kemerdekaan hanya eksklusif bagi orang yang ekonominya berada saja?
Sore itu kubaca artikel dalam bahasa Inggris yang dimuat di laman surat kabar online negara tetangga, berjudul Young and Broken atau kalau bisa kuartikan artinya muda dan kere. Aih, aku heran apakah penulisnya kenal aku karena isinya sama persis seperti apa yang kuhadapi saat ini, pengangguran dan bokek. Artikel itu bercerita tentang tantangan yang dihadapi oleh muda-mudi khususnya generasi Z dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Generasi Z selama ini banyak disanjung sebagai generasi yang keren, progresif, melek teknologi, dan bisa mengakses berbagai pekerjaan mentereng, gajinya juga pasti jreng besarnya. Tapi buaian yang acapkali muncul di media sosial itu tidak bisa mengubah realita yang kuhadapi. Sudah masuk bulan ke -21 sejak aku lulus wisuda dan aku masih begini-begini saja, tidak ada kerjaan. Aku tidak pilih-pilih karena memang tidak ada pilihan sama sekali. Jangankan diterima kerja, pesan singkatku atau emailku untuk menanyakan kelanjutan proses rekrutmen yang aku ikuti saja tidak pernah dibalas oleh bagian personalia perusahaan yang aku lamar. Konon ekonomi sedang tidak bagus, lagi lesu-lesunya. Jumlah lulusan baru meningkat sedang di pasar kerja, peluang kerja sangat terbatas. Tragisnya malah terjadi banyak lay off sehingga persaingan mendapatkan kerja semakin sengit.
Aku adalah lulusan ekonomi dari perguruan tinggi negeri ternama negeri ini, tapi nalarku tidak bisa nyandak bagaimana ekonomi di negeri ini dikelola oleh para penguasa. Kembali, agar di bulan ke-22 lebih membahagiaan, aku tidak pilih-pilih kerjaan. Sialnya memang tidak ada yang memilihku. Tiap kali kubuka e-mail isinya hanya e-mail penolakan bahwa aku tidak lanjut ke proses rekrutmen berikutnya. Jika demikian, yang kucari adalah ceramah-ceramah pengajian yang isinya adalah tentang kesabaran: sabar bahwa hidup memang harus selalu sabar.
Sabtu malam tanggal 16 Agustus ini, aku mau tidur cepat. Undangan tasyakuran kemerdekaan dari desa yang bisa diikuti oleh seluruh warga, tidak menarik bagiku. Rasanya aku belum merdeka sampai detik ini. Aku terbangun ketika adzan shubuh dari masjid dekat rumahku terdengar keras. Ternyata aku tidur lumayan lama. Kuingat dalam mimpiku, aku akhirnya mendapat kerja yang mentereng di ibukota. Sama seperti berita-berita mentereng tentang generasi Z selama ini yang banyak berseliweran di media sosial. Aku tersenyum, bolehlah aku bahagia sedikit walau itu hanya mimpi. Mungkin kemerdekaanku akan segera datang ehehe. Iseng kubuku e-mail dan terkejutnya aku melihat e-mail berjudul “Selamat!”. Setelah kubaca isinya adalah aku berhasil memenangkan undian hadiah kemerdekaan berupa mobil edisi terbaru. “Ah dasar gemblung, penipu online lagi ternyata!” gumamku.