“Sudah kubilang, jangan merantau ke sana!” Pesan almarhumah ibu itu masih sering saja mendengung di kepalaku. Tidak mengganggu yang pasti namun kalimat itu sering membuatku menyesal dan sedih di saat yang sama. Sudah lebih dari delapan tahun ini aku hidup berpindah di perantauan. Tak kusangka bahwa keputusanku untuk menyeberang lautan dan akhirnya berlabuh di kota terbesar di negeri ini membuat hidupku seperti semakin tak tentu arah. Aku pun sedih ketika teringat saat ibu meregang sakit dan nyawanya, yang akhirnya meninggal, aku tidak bisa berjumpa dan menemani di saat-saat terakhirnya. Klasik, karena aku tidak ada uang untuk naik pesawat. Jangankan itu, naik kapal laut tiket ekonomi pun tidak ada. Lagi pula butuh lebih dari tiga hari untuk sampai di desaku dengan kapal laut itu. Tidak mungkin pula malaikat maut mau menunda mencabut nyawa ibuku sampai aku sampai di rumah. Aku harap ibu mau memaafkan segala dosa-dosa dan kelancanganku sebagai anak semata wayangnya.
“Sudah kubilang, kamu tinggal di desa saja dan mengolah kebun kakao itu.” Pesan ibuku yang selalu diucapkannya berulang kali, sembari meyakinkanku bahwa pohon-pohon kakao itu akan memberikan penghidupan yang menjanjikan. Menjadi petani kakao itu seperti menebak-nebak arah angin, sangat tidak menentu. Harga kakao kering naik turun, petani hanya bisa terima naik turunnya harga itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Belum lagi potensi gagal panen yang kerap terjadi karena kondisi cuaca serta serangan hama. Orang tuaku punya kebun kakao yang luasnya tidak lebih dari satu hektar. Untuk ukuran tersebut, mereka tergolong petani menengah. Hasil panen cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar kami bahkan untuk menyekolahkanku sampai tamat sarjana. Namun, sepeninggal bapak, kebun itu makin lama makin terbengkalai. Bukan hanya karena aku tidak mau melanjukan mengelolanya, namun karena kakao sudah hilang hingar bingarnya sebagai primadona. Kebun-kebun kakao sudah berganti rupa menjai kebun tanaman bahan baku minyak goreng.
“Sudah kubilang, hidup di Jakarta itu tidak semudah yang kamu bayangkan.” kata ibuku dulu. Ibuku pernah tinggal selama sekitar 2 tahun di kota metropolitan ini. Waktu itu, dia ikut bibinya berjualan di warung makan miliknya. Deru kota besar yang ritmenya terlalu sibuk membuat ibuku tidak betah, akhirnya dia memutuskan pulang kampung. Berbekal selembar ijazah dan juga riwayat hidup, aku berharap bisa bekerja di area perkantoran bergengsi di kota ini. Tentu indah bisa melihat Jakarta dari lantai 20 atau 30. Tentu akan membanggakan jika aku bisa bergaul dengan kalangan cerdik cendekia dan kelas atas. Namun, fakta menggariskan lain, di tahun-tahun awal aku sulit sekali mendapat kerja. Aku sudah mati-matian melamar sana sini namun tidak pernah aku mendapat pekerjaan impianku. Ada saja alasannya, mulai dari aku yang tidak cakap, tidak punya pengalaman, sampai aku dibilang tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Aku tidak gagu, aku hanya kadang sulit menyampaikan apa yang ada dalam benakku dengan bahasa yang mudah dipahami orang pada umumnya. Tapi beruntung, Tuhan masih baik padaku. Aku masih setidaknya bisa bertahan sampai tahun ke delapan ini. Walau kadang aku berharap bisa membalik waktu dan tidak membuat keputusan merantau ini. Berbagai pekerjaan, yang konon kata banyak orang adalah pekerjaan kasar, pernah aku coba mulai dari tukang fotokopi, tukang ojek, sampai berjualan es keliling.
Pagi ini memang seperti pagi pada dua bulan ke belakang. Pasar begitu sepi pembeli. Kudengar dari berita bahwa ekonomi sedang melambat, daya beli menurun, banyak pabrik dan industri yang gulung tikar. “Ah, aku sudah melewati banyak masa sulit. Bagiku ini bukan apa-apa.” Kudengar mencari kerja sekarang lebih susah lagi. Apapun beritanya, hidupku ya akan begini-begini saja. Kukeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan dari kantong celanaku. Hasilku menjadi buruh angkut di Pasar Induk Kramat Jati. Aku bersyukur setidaknya ada yang bisa kusisihkan untuk tabungan memperbaiki makam ibu dan bapakku. “Sudah kubilang bahwa aku akan menepati janjiku memperikan penghormatan terakhir untuk mereka.”