Mama Tua terlihat murung. Kemurungannya sudah terpampang beberapa bulan ini, terlebih sejak bencana longsong mengubur sebagian wilayah desa di lereng gunung itu. Setidaknya puluhan orang tertimbun amukan tanah termasuk beberapa anggota keluarganya. Peristiwa itu sudah sempat terlintas dari mimpinya beberapa lama. Namun dia tidak percaya bahwa akhirnya bencana itu menjadi kenyataan. Dia sudah berkali-kali bersitegang dengan pemerintah desa tentang arah pembangunan desa. Dalam musrembang terakhir yang diadakan, Mama Tua memang diundang namun dia tidak sekalipun diberi kesempatan untuk bicara di forum itu. Forum itu hanya jadi saluran komunikasi satu arah dimana aparat desa menjelaskan segala macam presentasi indah tentang rencana membangun pariwisata di desa tersebut. Segala macam janji manis berupa terbukanya lapangan kerja, meningkatnya mobilisasi warga dari luar daerah, makin intensnya interaksi sosial, sampai pada potensi pengembangan UMKM menjadi mantra yang memabukkan di telinga. Sepertinya hanya Mama Tua yang tidak setuju dengan segala macam rencana indah tersebut. Yang lain, entah karena terpaksa atau karena sukarela, bertepuk tangan dan berteriak gemuruh mendukung.
Mama Tua sampai saat ini masih dipercaya sebagai pemimpin adat di daerahnya. Bukan sembarangan, pemimpin adat ini adalah melalui garis keturunan. Ketika menjadi pemimpin adat, seharusnya kedudukan pemimpin adat dan pemimpin desa setara. Artinya segala hal di desa harus mendapat pesertujuan kepala desa dan pemimpin adat sekaligus, jika salah satunya tidak ada maka otomatis persetujuan itu tidak terjadi. Namun Mama Tua hanya dianggap angin lalu selama ini. Keberadaannya kadang justru menjadi olok-olok karena pemikirannya dianggap terlalu kolot dan anti kemajuan zaman. Tiadanya pengetahuan dan penguasaan keahlian modern membuat posisi Mama Tua makin tersisih dalam musyawarah warga. Terlebih rangkaian kegiatan adat selama ini juga makin mendapat banyak kritik karena dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Mama Tua tahu betul bahwa nyawa pohon sama berharganya dengan nyawa manusia. Itu pula yang selama ratusan tahu atau bahkan ribuan tahun menjadi tradisi di sana. Setiap bayi yang lahir harus disertai dengan penanaman pohon yang baru. Bayi itu dirawat, begitu juga dengan bibit pohon di hutan adat, yang ada di lereng-lereng gunung sekitar desa. Pohon itu dianggap sebagai “teman hidup” sama seperti halnya ari-ari yang dikubur di tanah dekat rumah si jabang bayi. Jika ada pohon yang mati di hutan adat tersebut, maka harus segera ditanam pohon penggantinya untuk menghindari bala. Tidak diperbolehkan pun penebangan beberapa pohon untuk tujuan yang tidak jelas, terlebih untuk tujuan komersil. Kembali, jika terjadi maka hal buruk akan mengikuti.
Tapi memang dunia sedang brengsek-brengseknya. Kepala desa yang sejatinya adalah sepupu Mama Tua mungkin sedang gila. Atas nama pariwisata, dia memberikan izin guna atas sebagian hutan adat. Lokasi hutan adat memang sangat strategis, menghadap ke timur dan perbukitan di sekelilingnya sehingga pemandangan dari sana sangat indah. Belum lagi adanya air terjun bisa membuat siapapun yang masuk hutan adat lupa bahwa mereka masih ada di dunia.
Tengah malam, puluhan ekskavator membabat habis barisan pohon yang usianya puluhan bahkan ratusan tahun. Kondisi hujan lebat selama beberapa hari tidak meredamkan “kegendhengan” pada penghamba investasi itu. Konon butuh semingguan untuk melakukan clearing atas hutan adat yang akan dibangun resort mewah kelas dunia. Belum genap empat hari, alam sudah berkata lain. Lereng-lereng itu tidak kuasa menahan beban dan besarnya keserakahan yang ada di atasnya, ambruklah. Tanah, kayu, dan lumpur menggulung sebagian wilayah desa jelang waktu shubuh.
Mendekar suara gemuruh, Mama Tua terbangun dari tidurnya. Seolah tidak kaget, lalu dia melakukan ritual agar arwah-arwah pohon itu bisa istirahat dengan damai bersama arwah-arwah manusia yang pergi bersamanya. Terlihat wajah Mama Tua menahan kesedihan, namun dia sudah berusaha sekuat mungkin menjaga adat. Di pikirannya saat ini hanya ada dua hal, pertama agar semua korban segera bisa ditemukan dan kedua adalah segera menanam pohon baru agar hal buruk lainnya tidak terjadi.