Datang Menagih
Datang Menagih

Datang Menagih

Aku hafal sekali, jika dulu Badrun datang seminggu dua kali. Sekarang ini dia datang seminggu bisa empat belas kali bahkan dua puluh satu kali. Heran sekali, kenapa dia hobi betul datang ke rumah peyot Ranti yang jika angin berhembus kencang sedikit saja, pasti rubuh. Bukan tanpa alasan, Ranti memang terkenal sebagai tukang utang. Gali lobang tutup lobang begitu lah. Aku sebagai tetangga Ranti tahu betul bagaimana miskinnya hidup janda anak empat tersebut. Nasih naas, ditinggal pergi suami kawin lagi, dia tidak ditinggali warisan apapun kecuali empat anak tadi. Uang hasil jadi buruh tani pun tentu tidak cukup barang untuk beli nasi dan garam guna makan sehari-hari. Ranti yang aku tahu bukan lah orang yang pemalas. Kami berteman bahkan sejak TK sampai SMP lantaran memang kami tinggal bertetangga dan bersekolah di tempat yang sama. Kami tidak kemana-mana dan hanya terkungkung di desa kami saja. Lepas SMP kami menikah. Nasibku lebih beruntung karena dapat suami anak salah satu tuan tanah di sini. Dia tidak macam-macam, tidak neko-neko. Tentu beda sekali dengan suami Ranti yang tidak tahu diri itu.

Badrun terkenal sebagai salah satu penagih hutang yang handal. Dia akan melakukan segala daya upaya agar si debitur koperasi simpan pinjam tempat dia bekerja, mau membayar utang dan bunga-bunganya. Walau terkenal intimidatif, tapi dia tidak pernah main fisik seperti memukul, terlebih jika debiturnya adalah perempuan. Baginya “serangan psikologis” lebih manjur daripada “serangan fisik”. Tidak jarang dia membuat cerita-cerita palsu untuk mempermalukan debiturnya yang gagal bayar.

Sore itu, Ranti sedang memandikan anaknya yang terakhir, yang masih berusia empat tahun. Tidak dinyana tidak diduga, Badrun datang dan langsung bersuara keras: “Ranti, tunggu apalagi bayar kau punya utang dan bunganya sekalian!”. Saking kerasnya, mungkin orang satu RT bisa dengar teriakan Badrun tadi. Ranti terkaget melihat Badrun tiba-tiba ada di belakangnya. Lontaran kata-kata kotor mulai dari aneka binatang sampai aneka umpatan terus menerus terdengar dari mulut Badrun yang nyerocos, tidak jarang air liur semburat keluar dari mulutnya, sangat menjijikkan. Jika saja Kartini masih hidup, pasti dia akan sangat sedih melihat kaumnya dihina dan dipermalukan seperti itu gegara gagal bayar satu kali saja. Ranti tidak bergeming, dia terus memandikan anaknya dan terlihat berupaya seperti tidak terjadi apa-apa.

Ranti sebenarnya bukan orang yang suka mengeluh. Walau biaya anak-anaknya cukup banyak dan besar namun dia tidak pernah sekali-kali mempertanyakan kehadiran dan keadilan Tuhan. Ketika pernah kutanya, kenapa dia bisa sekuat itu, dia hanya menjawab bahwa semua sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Bagiku dia juga adalah perempuan yang selalu menjaga harga dirinya dan marwah keluarganya. Walau banyak utang, tapi dia tahu betul batasan harga diri yang tidak bisa diusik oleh orang lain.

Dari kejauhan Badrun terlihat terus berteriak, lengkap sudah semua koleksi kata kotor keluar dari mulutnya yang memang bau. Selepas anaknya selesai mandi, Ranti kemudian bergegas menghampiri Badrun. Terlihat dia berbisik sesuatu kepada Badrun. Entah apa yang dia katakan, muka Badrun yang awalnya merah menyala seperti kepiting terbakar kemudian berubah kalem dan sumringah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *