Bertanam Genjer
Bertanam Genjer

Bertanam Genjer

“Dasar nenek-nenek gila!” begitu umpatan banyak orang di desa melihat kelakuan Nek Murtini yang tiap hari bertanam genjer-genjer di sepetak sawah tinggalan suaminya. Ketika orang-orang lain sibuk bertanam padi saat musim hujan dan semangka saat musim kemarau, nenek-nenek yang usianya sekitar 80 tahunan itu tetap saja bertanam genjer. Genjer adalah sejenis tanaman gulma yang saat pada zaman penjajahan Jepang dulu, ketika situasi serba sulit, gulma ini kemudian menjadi bahan pangan, sayuran. Genjer yang Nek Murtini tanam tidak hanya dia konsumsi sendiri, namun dia juga menjualnya di Pasar Pon yang ada di desa tetangga. Namanya jualan, kadang ada yang beli namun paling sering tidak laku sama sekali.

Cap Aneh sudah melekat ke Nek Murtini sejak tahun 1970-an. Selain cara bertaninya yang dianggap “nyeleneh”, dia juga sering terlihat sendirian melamun memandang aliran Sungai Brantas yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Hidup sebatang kara, Nek Murtini adalah janda ditinggal mati suaminya, Guk Sarmin yang dulunya adalah seniman ludruk terkemuka di daerahnya. Guk adalah panggilan untuk laki-laki yang lebih tua di daerahku. Dari cerita yang aku dengar, Guk Sarmin yang seorang jelata tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Namun Tuhan Maha Adil, dia ternyata dikaruniai bakat dhagel atau melawak yang natural dan otodidak. Tiada pertunjukan ludruk akan rame tanpa penampilan Guk Sarmin, begitu kata kakekku bercerita. Hampir tiap hari Guk Sarmin tampil pentas ke berbagai daerah di Jawa Timur pada 1950-1960-an. Dalam salah satu pertunjukan yang dia lakoni, mata pandangnya lantas tertuju pada seorang belia cantik, seorang penonton yang kemudian menjadi istrinya, Murtini. Walau tidak dikarunia keturunan, namun mereka hidup dengan bahagia. Nek Murtini selalu ikut kemanapun Guk Sarmin pentas. Begitulah dua sejoli ini menumbuhkan cinta dari panggung satu ke panggung lainnya, dari malam satu ke malam lainnya.

Sampai pada malam kelam itu dimana saat pertunjukan ludruk sedang seru-serunya, beberapa orang bersenjata datang dan langsung mencokok pada seniman dan seniwati di sana. Entah apa alasannya, tapi mereka dituduh melakukan tindakan pembangkangan kepada negara. “Menyerahlah kalian semua wahai golongan kiri!” begitu seru kalimat kawanan bersenjata yang kemudian membuat semua orang di sana kocar-kacir. Nek Murtini yang memang bukan bagian dari pertunjukan ludruk dan biasa duduk di baris penonton beruntung karena tidak ikut digiring dan dinaikkan ke truk terbuka. Malam itu benar menjadi malam terakhir dia melihat suaminya.

Tidak ada berita kejelasan kemana para seniman-seniwati itu dibawa. Ada yang bilang mereka diasingkan dan dikirim ke pulau terpencil yang sangat jauh. Ada juga yang bilang mereka dipenjara dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Namun, satu yang sebenarnya Nek Murtini tidak mau percaya namun hatinya berkata lain, bahwa mereka semua sudah dieksekusi tanpa ampun. Selang beberapa hari setelah ontran-ontran malam hari itu terjadi, terdengar kabar beberapa orang dieksekusi di tepi Sungai Brantas. Lantas mayatnya dilarung dibuang begitu saja ke aliran sungai itu. Nek Murtini berupaya mencari lokasi dimana peristiwa itu terjadi.

Tidak ada kenangan manis sama sekali tertinggal dari sang suami dari kejadian itu. Foto hitam putih saat suaminya pentas ludruk serta dengungan lagu genjer-genjer yang sering dinyanyikan di pentas tersebut adalah tinggalan paling berharga yang dia punya. Beruntung saat itu, dia masih mendapat tinggalan sawah banon 50 serta tabungan hasil bayaran pentas suaminya. Tabungan itu lantas dibelikan sepetak tanah di seberang sungai. Batinnya berkata bahwa di sisi sungai sanalah suaminya benar-benar pergi untuk selama-lamanya.

Rumah sederhana berdinding bambu kemudian berdiri. Berdisi sampai saat ini penuh dengan pilu dan rasa rindu. Kenangannya akan suaminya terus hidup lewat tanaman genjer yang dia tanam. Nek Murtini tidak tahu apa-apa. Yang dia tahu, suaminya adalah seniman yang tidak neko-neko. Tidakpun pernah rapat atau kumpul-kumpul selain persiapan pementasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *