Kapan kamu pertama kali mendengar kata Dieng? Banyak yang menjawab pasti waktu kecil ketika main monopoli. Ya, salah satu ‘petak rumah dan hotel’ yang bisa dibeli adalah Dataran Tinggi Dieng atau Dieng Plateau. Berkunjung ke Dieng juga sudah menjadi travelling list saya dari dulu namun tidak juga terwujud sampai akhir tahun 2017 ini. Alhamdulillah pada akhir 2017, saya berkesempatan untuk jalan-jalan di daerah yang syarat sejarah dan cerita mistis ini. Saya berangkat ke Dieng pada Sabtu sore, 30 Desember 2017 dengan ikut salah satu trip seharga 640.000 rupiah. Harga ini terbilang murah karena sudah termasuk transportasi PP Jakarta-Dieng-Jakarta, transportasi selama di Dieng, tiket masuk ke beberapa objek wisata, 4 kali makan dan penginapan di Dieng. Perjalanan darat terasa tidak begitu lama karena banyak waktu kami habiskan dengan tidur dalam bus ber-AC tersebut. Tercatat bus berhenti beberapa kali di rest area sepanjang tol yang dilewati. Sampai pada shubuh ketika bus berhenti tepat di Masjid Besar Banjarnegara tepat di salah satu sisi alun-alun kabupaten tersebut. Wah, ini adalah juga pertama kali saya menginjakkan kaki di Banjarnegara, kabupaten yang terkenal karena minuman dawet ayu-nya.
I was just too excited, walaupun badan saya terasa pegel dimana-mana. Pertama karena Sabtu paginya saya selama sekian jam bermain tenis dan sehari sebelumnya saya kurang tidur (ini seharusnya tidak dilakukan karena agar bisa enjoy jalan-jalan perlu kondisi badan yang fit) dan kedua karena bangku duduk di bus – yang saya tempati – jujur kurang nyaman. Saya mendapat bangku di paling posisi belakang dan pojokan. Bangku ini memberikan space yang lebih sempit untuk selonjoran atau setidaknya memiringkan badan ke sisi kanan dan ke kiri. Walaupun demikian, kembali bahwa hal ini tidak menyurutkan antusiasme saya berkunjung ke Dieng.
Dataran tinggi Dieng merupakan dataran tinggi hasil letusan gunung api purba, yang kemudian membentuk beberapa gunung anakan seperti Sikunir, Prau, Pakuwojo, Pangonan, Petak 9 Bukit Sidengkeng, Bukit Skoter, dan Gardu Pandang Tieng. Dataran tinggi ini terletak di beberapa wilayah administratif 2 kabupaten yakni Banjarnegara dan Wonosobo. Bus kami tepat masuk ke Dieng pada pukul 7 pagi. Kami sempat turun dan beberapa di antara kami berfoto di gapura pintu masuk daerah ini. Sebelum mencapai titik ini, kami dibuat takjub dengan jalanan yang kami lewati. Saking tingginya mungkin, salah satu sisi jalan berupa lembah/ jurang menyajikan pemandangan yang sangat luar biasa. Arak-arakan awan putih terlihat di sisi tersebut, kami seolah memang berada di atas awan. Ini pula mungkin alasan kenapa Dieng disebut sebagai negeri di atas awan. Ketika keluar bus, udara sejuk pemandangan menyambut kami; segar sekali menurut saya. Di kanan kiri, hamparan ladang dengan mayoritas tanaman kentang terlihat. Kentang memang menjadi hasil pertanian utama di Dieng. Di sana, kentang dipanen sepanjang tahun dan daerah ini memang menjadi salah satu sentra penghasil kentang terbesar di Indonesia.
Memasuki daerah utama wisata Dieng, bus kami berhenti di semacam ‘welcoming landmark’ yang tepat berada di tepi jalanan utama desa, yang juga menjadi pembatas antara Desa Dieng Kulon dan Desa Dieng Wethan. Landmark bertuliskan ‘Welcome to Dieng’ ini memang menjadi salah satu spot foto yang paling menarik wisatawan untuk mengabadikan kunjungan mereka.
Dieng dan Lusinan Kawah Aktif
Sebagai daerah hasil letusan gunung berapi, Dieng memiliki beberapa kawah yang masih aktif. Tercatat ada 11 kawah aktif yakni Pagar Kandang, Sileri, Timbang, Paku Wojo, Ciglagah, Bitingan, Condrodimuko, Sinila, Sikendang, Sikidang dan Sibanteng. Beberapa dari kawah tersebut bisa menyemburkan gas beracun dan mematikan. Bahkan pernah pada tahun 1979 terjadi tragedi dimana letusan Kawah Sinila menyebabkan gempa dan menyemburkan gas beracun yang berisi karbondioksida. Warga yang panik kemudian berhamburan keluar rumah mencari tempat yang lebih aman, di perjalanan mereka justru melewati daerah yang dialiri gas beracun tersebut dan akhirnya 149 warga meninggal dunia.
Beberapa kawah merupakan kawah yang visitor friendly alias bisa dikunjungi oleh wisatawan, misalnya Kawah Sikidang. Disebut Sikidang karena titik panas kawah ini berpindah dari lokasi satu ke lokasi lainnya, mirip dengan rusa atau kijang yang dapat berpindah/ berlari dari satu tempat ke tempat lainnya. Kawah ini bisa dibilang salah satu kawah yang paling populer bagi wisatawan.
Apa yang bisa dilihat di sana?
Apakah cuma kawah saja?
Tentu tidak!
Di sana kamu bisa belanja banyak produk lokal baik produk pertanian maupun produk olahan. Yang paling khas adalah manisan carica. Carica adalah semacam buah pepaya, yang khas Dieng. Di Dieng, pohon carica banyak ditemukan di berbagai sisi. Kamu juga bisa membeli purwaceng yakni tanaman khas dieng yang bisa diseduh dan dijadikan teh. Konon purwaceng adalah tanaman penambah tenaga dan biasa dikonsumsi pria. Di sisi lain kawah ini, penjual bunga edelweis kering berjajar, dibanderol mulai dari yang harganya 5-50 ribu rupiah. Bunga-bunga ini dibentuk semacam pohon-pohon mini dan beranekawarna. Hiasan dari bunga edelweis ini bisa ditaruh sebagai pajangan ruangan maupun pewangi ruangan, karena baunya yang akan tetap awet sampai waktu lama. Selain itu, kamu juga bisa berfoto di beberapa sudut, mulai dengan foto burung hantu, foto dengan kuda, foto dengan mobil jeep, dan lainnya. Kamu cukup membayar 5-10 ribu untuk setiap foto dengan piranti itu. Ada juga tukang foto keliling langsung jadi dengan tarif sekitar 20 ribu sekali jepret. Di sana, kamu juga bisa mencoba aneka olahraga menantang seperti flying fox dan motor trail. Harganya berkisar 30-50 ribu untuk sekali coba.
Banyaknya sumber panas bumi ini pula yang kemudian dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenapa panas bumi oleh PLN di bawah naungan Geo Dipa. Listrik yang dihasilkan digunakan untuk keperluan listrik di Dieng dan sekitarnya.
Candi-Candi Sejarah Dieng
Dieng berasal dari kata Di Hyang atau tempat bersemayamnya para dewa-dewi. Konon katanya, Dieng adalah tempat berawalnya persebaran agama Hindu di Tanah Jawa. Di Dieng banyak ditemukan candi-candi Hindu yang kemudian oleh penduduk sekitar dinamakan dengan nama-nama tokoh pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, Bima dan lainnya. Kompleks Candi Arjuna adalah kompleks candi terbesar di Dieng ini. Di sana candi ini diapit oleh hamparan ladang pertanian penduduk. Candi-candi ini menurut saya terawat dengan sangat baik. Aneka tanaman menjadi pemanis di area masuk dan sekitar candi.
Kawasan candi ini pula yang menjadi pusat acara Dieng Cultural Festival, festival seni budaya selama beberapa hari yang sudah berjalan lebih dari sewindu. Festival ini memang menjadi daya magnet wisatawan dan Dieng selalu penuh wisatawan pada saat acara berlangsung, sekitar Bulan Agustus. Salah satu puncak acaranya adalah dipotongnya rambut gimbal anak-anak Dieng. Beberapa anak-anak di sana memang berambut gimbal dan rambut ini tidak boleh dipotong secara sembarangan. Secara sejarah, konon rambut gimbal ini erat sejarahnya dengan masa kerajaan Mataran sekitar enam ratus tahun lalu. Diceritakan bahwa Kyai Kolodete, seorang utusan dari Kerajaan Mataram Kuno diperintahkan untuk membuka wilayah Dieng dan memperluas daerah kekuasaan kerajaan. Bersama dengan Ni Roro Ronce, istrinya, dia diutus untuk mensejahterakan daerah tinggi dan sepi di tengah Pulau Jawa. Setelah mendapatkan petunjuk dari Nyi Roro Kidul, mereka tahu bahwa akan ada fenomena manusia-manusia berambut gimbal dan makin banyak manusia berambut gimbal maka makin sejahtera daerah ini. Dari sinilah diketahui munculnya fenomena manusia berambut gimbal ini.
Anak-anak rambut gimbal dipercaya bisa menjadi tanda keberuntungan dan sebaliknya sial bagi keluarga mereka. Di upacara potong rambut ini, anak-anak ini perlu dipenuhi semua permintaannya, baik yang biasa maupun yang aneh-aneh. Dan pertanyaan apa yang dimaui ini ditanyakan pada pagi hari ketika anak-anak ini baru bangun tidur. Saya sempat befoto bersama 2 orang anak perempuan berambut gimbal. Awalnya mereka malu-malu dan tidak mau namun karena dibujuk oleh bapaknya, akhirnya mereka mau juga berfoto bersama saya. Beruntung sekali saya ehehe.
Awalnya saya kira penduduk Dieng masih banyak yang memeluk agama Hindu Buddha, namun ternyata Islam menjadi mayoritas dipeluk warga sana. Di berbagai sisi juga dapat ditemui masjid berukuran besar.
Warna-Warni Lampion Terbang
Salah satu momen yang dinanti adalah memang malam jelang sambut tahun baru. Di Dieng, diadakan di beberapa titik. Pertama di lapangan landmark ‘Welcome to Dieng’ yang berupa pagelaran musik dangdut dan kedua adalah di kompleks Candi Arjuna yang berupa official launching Dieng Cultural Festival 2018, diisi dengan nobar film Dieng, music akustik, tari tradisional Lengger dan lainnya. Tepat di depan penginapan saya menginap, tanpa saya duga ada acara tersendiri. Saya awalnya berencana untuk istirahat tidur selama 2-3 jam sebelum jalan kaki ke kompleks Candi Arjuna jam 10 malam. Namun musik-musik tradisional berupa kendang, terbang dan lainnya membuat saya penasaran dan akhirnya keluar dari penginapan. Ya, di penginapan depan ternyata ada sajian kesenian angguk. Kesenian khas Dieng. Dari obrolan dengan penduduk setempat yang juga menyaksikan acara itu. Angguk adalah kesenian yang sudah ada sejak lama di sana, namun sempat mati suri dan akhirnya bangkit lagi setahun belakangan. Sama seperti kesenian Lengger, Angguk juga saat ini dilestarikan oleh beberapa grup yang ada di Dieng. Disebut angguk karena salah satu komponen utama tarian ini adalah gerakan mengangguk. Kesenian ini terdiri dari dua grup utama pertama adalah pemusik dan kedua adalah penari. Pemusik ini adalah orang yang memainkan alat musik dan bernyanyi sepanjang perhelatan seni. Alat musiknya terdiri dari kendang dan rebana, terbilang cukup sederhana namun tetap membuat suasana ramai. Kemudian ada penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa. Lagu-lagu yang dinyanyikan banyak yang mengandung pesan moral dan juga bernafaskan Islami. Grup kedua adalah grup penari, terdiri dari penari wanita dan laki-laki, yang semuanya menggunakan kostum warna-warni. Salah satu yang mencolok adalah mereka menggunakan kacamata hitam gaya, cukup kontras dengan baju tradisional yang mereka gunakan.
Para penari ini menari mengikuti alunan musik dan lagu selama beberapa jam dengan beberapa kli jeda istirahat. Di salah satu bagian pertunjukan adalah adanya kemungkinan dari salah satu penari ini kesurupan. Benar saja, akhirnya salah satu dari mereka kesurupan. Si penari ini kemudian akan terus menari jika dia mendengar lagu dan musik yang dia sukai. Jika tidak maka dia tidak segan untuk berlari/ bergerak ke arah grup pemusik yang duduk di samping arena menari. Kejadian kesurupan ini bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi warga lokal, begitu yang saya lihat dan menjadi salah satu bagian tidak terpisahkan dari pertunjukan ini. Saya sendiri senang bisa melihat Angguk untuk pertama kalinya. And guess what? Saya akhirnya ikut menari dengan mereka. Tahu saja dari mereka bahwa saya adalah tamu/ pengunjung, kemudian mereka memberi saya selendang warna kuning dan ikut menari bersama selama lebih dari 10 menit.
Saya termasuk orang yang suka akan seni budaya tradisional, dan selalu kagum akan mereka-mereka yang melestarikan seni budaya ini dengan cara apapun dan dengan alasan apapun. Termasuk salah satunya adalah grup kesenian angguk ini.
“Berapa mereka dibayar untuk sekali tampil selama beberapa jam ini?” begitu tanya saya kepada salah satu penonton yang merupakan warga sekitar.
“1 juta rupiah.” Begitu jawab dia
Saya terbelalak ketika tahu berapa mereka dibayar. Dari segi jumlah, satu grup yang saya lihat bisa sekitar lebih dari 20 orang. Jadi bisa tahu kan berapa kira-kira tiap orang dibayar sekali tampil. Tapi kadang untuk mereka yang sudah mendedikasikan dirinya untuk pelestarian seni dan budaya, uang bukanlah alasan utama. Asal mereka bisa melihat seni budaya yang mereka geluti lestari serta melihat para pengunjung senang, mereka juga akan senang melebihi materi apapun. Saya berharap mereka agar selalu sehat dan pelestarian angguk bisa diteruskan ke generasi muda Dieng.
“Karena kesenian Angguk pula, Desa Dieng Wethan menang lomba desa wisata se Kabupaten Wonosobo tahun 2017 ini!” begitu kata ibu-ibu penduduk lokal yang saya tanya.
Jam menunjukkan hampir pukul 10 malam, dan akhirnya saya beranjak berjalan kaki menuju kompleks Candi Arjuna. Sepanjang jalan desa yang sempit itu dipenuhi oleh kendaraan dan juga orang-orang yang berjalan kesana kemari. Jalan-jalan di Dieng hampir semuanya beraspal, jalan 2 arah ini tidak begitu lebar namun tetap dapat dilewati oleh bis ukuran sedang. Memasuki wilayah candi, lautan manusia bisa dilihat dimana-mana; tua muda anak-anak, semuanya ada. Di salah satu sisi, terdapat panggung, terlihat banyak warga yang sedang melihat film tentang Dieng Cultural Festival yang ditampilkan di layar ukuran kecil. Sajian nobar ini menurut saya sangat sederhana namun tidak menyurutkan antusiasme penonton. Di depan panggung, di sisi kanan kiri, terlihat kayu dibakar untuk menghangatkan suasana. Layaknya dataran tinggi, Dieng memang memiliki suhu yang dingin. Di hari-hari biasa suhu rata-rata adalah 10 derajat celcius, di dini hari jelang pagi bahkan bisa mencapai 0 derajat celcius. Kamu bisa bayangkan betapa dinginnya daerah itu. Yang lebih menantang lagi adalah suhu air di sana. Kalau kamu tidak terbiasa mandi air dingin, maka mungkin Dieng bukan tempat yang cocok untuk kamu tinggali. Saya mandi berasa mandi air es, dingin sekali.
Mendekati waktu pergantian tahun, terlihat bahwa makin banyak pengunjung yang menyalakan dan menerbangkan lampion. Lampion-lampion kertas ini bisa dibeli dengan mudah seharga 10-15 rupiah per buahnya. Lampion-lampion ini akan terbang dan jatuh ketika bahan bakarnya, yang setahu saya berupa lilin parafin, habis. Lampion warna-warni ini menghiasi langit dan menambah semarak suasana ketika kembang api mulai meletus satu per satu. Terlihat semua orang sangat senang menyambut tahun yang baru, begitu juga saya. Kompleks candi yang pastinya sepi menjadi sangat ramai dan kembali mulai sepi lagi ketika pengunjung mulai meninggalkan lokasi dan pulang ke rumah masing-masing.
First Sunrise di Tahun 2018
Saya sudah berniat untuk tidak naik ke puncak Gunung Sikunir dan memutuskan untuk tidur saja agar badan keesokan harinya segar. Ya, tepat jam setengah dua pagi saya tidur, rasanya badan sudah terlalu lelah. Namun pintu kamar saya diketuk oleh trip leader sekitar jam 3 malam, wah benar saja dia memang sedang wake up call agar peserta siap-siap naik ke gunung. Saya awalnya ragu tapi kemudian yasudah ikut saja. Udara pagi buta itu dingin sekali, lebih dingin dari waktu kapanpun. Bus kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di kaki gunung. Di sana ternyata untuk sampai di titik pintu masuk jalur trekking, wisatawan dapat berjalan kaki atau menyewa ojek motor. Ojek motor tarifnya adalah sekitar 10 ribu rupiah sekali jalan. Ojek-ojek di sana memakai rompi khusus sebagai penanda ojek resmi, mereka juga mewajibkan penumpang memakai helm. Saya memutuskan berjalan kaki dengan peserta lain dan benar saja, lumayan jauh dan melelahkan ehehe. Kondisi badan yang super capek, rasa kantuk serta rasa menahan dingin menjadi satu; cocok sudah. Tepat di pintu start trekking, adzan shubuh berkumandang, alhamdulillah saya menyempatkan untuk sholat di musholla yang ada di sana. Awalnya saya berniat sholat di atas dan berharap ada tempat lapang bagi saya untuk menggelar kain yang akan saya jadikan sajadah.
Naik ke puncak Sikunir yang berketinggian 2.263 meter di atas permukaan air laut, bukanlah hal yang mudah ketika badan capek, ngantuk dan udara dingin menjadi satu. Namun ribuan orang terlihat sangat antusias untuk melihat matahari terbit pertama pada tahun 2018 ini. Setelah lebih dari 40 menit melewati jalan vertical akhirnya kami sampai di salah satu sisi puncak gunung ini. Pengunjung sangat ramai, mereka sibuk dengan gadget mereka masing-masing, beberapa di antara mereka bahkan terlalu ramai dan mungkin lupa bahwa di sana adalah tempat publik yang mana mereka berbagi tempat dengan orang lain. Setelah ditunggu beberapa lama, akhirnya matahari muncul juga secara perlahan. Kala itu langit sangat cerah dan tidak banyak awan dengan demikian matahari muncul sempurna. Saya memang memutuskan jalan di luar rombongan karena ingin menikmati suasana ini sendiri tanpa ribet harus dimintai foto oleh orang-orang yang juga baru pertama kali saya kenal. Cukup saya dan matahari terbit sambil sesekali saya mendengarkan lagu atau musik yang saya sukai; itu sudah lebih dari cukup. Setelah cukup puas di atas, akhirnya saya memutuskan untuk turun gunung, literally turun gunung.
Pesona Dieng Lainnya
Mengunjungi Dieng memang tidak cukup hanya 2 hari satu malam, jika kamu memiliki waktu lebih, lebih baik berkunjung untuk waktu yang lebih lama. Objek wisata lain yang saya kunjungi adalah Dieng Plateu Teather. Ini adalah semacam teater atau ruang tertutup dimana pengunjung dapat menonton film tentang Dieng. Film berdurasi sekitar dua puluhan menit ini bercerita tentang alam dan budaya Dieng. Penonton terlihat sangat antusias melihat film ini, termasuk saya.
Tepat di sampingnya, terdapat objek wisata Batu Pandang Ratapan Angin. Disebut ratapan angin karena ketika berada di atas batu itu, wajah kita akan diterpa oleh angin secara sepoi-sepoi yang seolah ingin berbicara atau bercerita sesuatu. Objek wisata ini merupakan favorit saya karena ditata dengan apik, di sana tanaman ditata dengan baik dan tempatnya sangat bersih. Selain batu ratapan angina ini, juga ada beberapa titik pandang buatan lain. Ada juga flying fox yang bertarif sekitar 30 ribu rupiah. Di atas batu ratapan angina ini, pemandangan 2 telaga atau danau bisa dilihat yakni Telaga Pengilon dan Telaga Warna. Disebut telaga pengilon karena airnya yang bening dan seolah bisa digunakan untuk bercermin. Disebut telaga warna karena airnya yang berwana hijau akibat kandungan sulfur. Telaga warna ini merupakan objek wisata yang terakhir saya kunjungi. Mengitari danau melalui jalan setapak yang disediakan menurut saya juga menarik, aneka penjaja makanan bisa ditemui. Pengunjung juga bisa berfoto dengan berbagai boneka, badut dan sejenisnya. Di salah satu sisi, grup seni musik calung memainkan musik dan lagu-lagu yang mayoritas Jawa dan dangdut. Grup musik calung ini dapat dijumpai di beberapa objek wisata lainnya di Dieng.
Alhamdulillah saya bisa mewujudkan keinginan saya untuk berkunjung ke Dieng. Saya dikenal sebagai tukang belanja oleh peserta rombongan yang lain. Ya memang saya memang suka belanja di setiap objek wisata yang saya kunjungi. Sebenarnya bukan untuk menghamburkan uang, namun saya memiliki budget sendiri untuk belanja dan prinsip saya adalah mengeluarkannya secara sedikit-sedikit namun di banyak tempat, dengan demikian saya bisa berbagi rezeki ke lebih banyak orang ehehe.
Walaupun singkat, jalan-jalan saya ke Dieng buat saya sangat bermakna. Saya harap jika suatu saat saya bisa ke sana lagi, mungkin akan dalam waktu yang lebih lama. Amien.