On a really nice Sunday morning pada pertengahan Bulan September, saya benar-benar menikmati hari dan momen yang menyenangkan karena saya bisa benar-benar bersantai tanpa beban dan hanya sibuk dengan salah satu kegemaran saya yakni menulis. Ya, Minggu pagi itu saya hanya bermalas-malasan namun dalam batasan masih produktif karena bisa membuat artikel di salah satu chain store yang konon katanya menjadi tempat nongkrongnya anak-anak gaul. Ahaha agak konyol memang, karena saat ini chain store justru menjadi tempat anak-anak muda untuk menghabiskan waktu. Anyway, di balik kaca saya hanya bisa melihat bagaimana orang-orang di sana juga menikmati hidupnya, just like what I am doing. Ya, mereka secara kasat mata terlihat bahagia. Jauh di luar kaca itu, seorang anak muda yang mungkin sepantaran saya, terlihat mengais sampah dan menggotong kantong plastik besar tempat menyimpan barang-barang rongsok penyambung hidupnya…..
Kontras, naas: begitu pikir saya. Saya dengan kacamata saya melihat dia begitu tidak bahagia. Di pagi yang cerah seperti ini dia harus bekerja sedangkan waktu cukup nyaman untuk digunakan bermalas-malasan. Dari kacamata saya, dia tidak bisa menikmati minggu pagi layaknya orang-orang “normal” lainnya. Saya tentu salah karena terlalu awal memberikan judgment bahwa yang bersangkutan tidak bahagia hidupnya.
Setiap orang punya pemikiran masing-masing dan setiap orang punya arti dan sumber kebahagiaan masing-masing pula. Namun kadangkala masyarakat secara mayoritas selalu menyamakan kebahagiaan dengan kelebihan materi. Bahagia itu ketika seseorang bisa menjadi masyarakat kelas A atau setidaknya B, memiliki mobil dan apartemen mewah, hadir dalam berbagai acara gala dinner dan launching produk baru, hadir dalam premier film atau pembukaan pertunjukan seni, makan di tempat mewah dan kelas atas atau semacamnya.
“Wah keren! Masih muda sudah mengendarai mobil mewah”
“Dia kan tajir banget. Tinggalnya aja di apartemen elite itu”
“Seneng banget ya kalau jadi dia, kerjaannya pergi jalan-jalan ke luar negeri”
Ya, memang itu faktanya, banyak orang yang menganggap bahwa kebahagiaan itu memang seperti itu. Tidak salah bagi mereka yang mengartikan kebahagiaan dalam batasan materi dan tidak salah juga bagi mereka yang mungkin kurang setuju dengan hal tersebut.
Tidak pelak jika banyak anak muda seumuran saya, mereka-mereka yang lulus dari sekolah-sekolah bisnis terbaik mempunyai gaya hidup yang tidak murah; sekali makan saja bisa merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah. Kehidupan yang mewah sekali jika dibandingkan kehidupan saya dulu yang penuh dengan keterbatasan finansial.
Sudah Biasa dan Belum Biasa
Kadang dalam tataran sudah biasa dan belum biasa atau sudah sering atau belum pernah sama sekali, banyak orang menurut saya yang mengartikan bahwa kebahagiaan itu tercapai ketika seseorang bisa menikmati atau mencoba sesuatu hal baru yang belum pernah dilakukan/dinikmati sama sekali. Misalnya dulu yang tidak mampu membeli pakaian anak gaul dengan brand terkenal sekarang membeli pakaian tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Apapun yang dulu belum pernah dilakukan karena masih berada dalam kelas sosial inferior, namun sekarang sudah menjadi hal yang biasa karena berada di kelas yang lebih superior, maka itulah kebahagiaan.
Sebagai anak muda yang kadang masih labih, saya juga sering mengartikan kebahagiaan dalam batas-batas materi dan kelas sosial. Saya seperti pemuda seumuran lainnya, akan kadang suka ketika check in di media sosial seperti path bahwa saya sedang berada di tempat yang keren, berada di kota wisata atau apapun itu sambil berharap orang lain mengetahui aktivitas saya “Hey, gw lagi di sini lo!” Namun, lama-lama capek juga dan saya akhirnya sampai pada satu titik dimana saya menanyakan hal itu sendiri ke diri saya “Memangnya buat apa? Toh makan di warung pinggir jalanpun masih bisa bahagia. Toh, beli baju di pasar tradisional pun masih bisa hidup”. After all, bukan itu kebahagiaan haqiqi yang saya cari.
Manusia bukan hidup untuk mengejar kelas sosial saja, namun lebih dari itu kebahagiaan itu harus berasal dari diri kita sendiri terlepas orang lain menganggap kita tidak bahagia padahal sejatinya kita merasa bahagia.
Menyederhanakan Arti dan Sumber Kebahagiaan
Dalam banyak Buddhism wisdoms yang saya pelajari, kesederhanaan dan ketidakterikatan akan hawa nafsu duniawi justru yang akan memberikan kebahagiaan yang sejati. Kelekatan atas sesuatu menjadikan manusia penuh ambisi dan kadang hal ini yang mengekang mereka untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Salah satu wisdom yang juga saya anggap benar. Namun, saya tidak bisa jika harus menjadi agamawan seutuhnya dan mengesampingkan aspek duniawi dan hanya berkonsentrasi ke aspek hidup sesudah mati. Oh, masih agak terdengar kurang populis di telinga saya.
Namun, ketidaklekatan atas sesuatu hal ini pula yang mungkin membuat kaum papa relatif lebih bahagia daripada kaum berada. Bagi mereka, asal bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan dalam batas minimal dan normal saja sudah mendatangkan kebahagiaan: tidak perlu aneh-aneh, tidak perlu neko-neko.
Umur saya sudah 25 tahun dan mungkin tidak terlalu telat untuk menyederhanakan arti kebahagiaan buat saya sendiri. Ya, saya ingin menurunkan terlalu banyak syarat yang complicated untuk bisa menjadi bahagia. Setidaknya, dalam tahap pembelajaran ini arti kebahagiaan bagi saya adalah sebagai berikut:
- Ketika saya punya cukup waktu untuk berdialog dengan Tuhan, berkeluh kesah atau bersyukur atas apa yang saya alami dalam hidup. Tidak hanya mengeluh kepada Tuhan ketika saya punya masalah namun juga berterima kasih saat saya punya masalah
- Pulang kampung setelah menyadari bahwa saya sudah terlalu lama tinggal di kota orang. Berada di rumah, melihat sungai dan sawah, merasakan hidup yang sederhana dan tidak terlalu banyak tuntutan tentu akan menyenangkan
- Buku dan ketenangan untuk menikmati buku-buku itu. Setidaknya saya bisa banyak belajar hal baru dari membaca. Saya cukup duduk-duduk bodoh dan melahap buku favorit saya.
- Membaca koran harian yang sudah biasa saya lakukan sejak kecil akan membuat saya terbuka atas banyak dinamika sosial yang terjadi. Well, saya tidak peduli biarkan orang-orang dalam dinamika sosial tersebut membuat pertunjukannya sendiri
- Bermain tenis: oh yes, saya suka sekali tenis dan berharap nanti salah satu anak saya akan menjadi pemain tenis profesional
- Memliki sahabat-sahabat yang tidak cuma menghubungi saya ketika mereka punya masalah namun mereka aktif menghubungi untuk sekedar bertanya “how’s your life? Is everything OK? Do you need help?”
- Berkumpul bersama keluarga untuk sekedar jalan-jalan, ngobrol atau makan bersama
Tidak ada brand mewah di situ dan tidak ada apapun yang digolongkan ke kelas A di situ, cukup sederhana bukan?! Ya, bahagia memang harus sesederhana mungkin
Semoga saya bisa bahagia dan begitu juga dengan anda